Thursday, August 22, 2013

Tulisan Lama Sang Pengecut

Halo, minna-san.. Ai ketemu tulisan ini yang kupikirsudah kuhapus, ternyata masih betah tersimpan di file penuh penat laptop saya. Tulisan ini cukup usang, 30-08-2012 pukul 22.49. Sudah hampir setahun. telah banyak yang berubah, tapi tetep sedih baca tulisan saya. Rasanya campur aduk sekali pikiran saya kala itu ya. ;')

----
Ini cerita dari seorang anak perempuan yang sudah mulai beranjak dewasa dan mulai memenuhi pikirannya dengan sebuah pertanggungjawaban besar yang harus ia lakukan sebagai seorang anak yang alhamdulillah masih memiliki kedua orangtua.

Ya, aku tidak pernah berpikir menjadi seorang yang seperti ini, seorang yang pecundang.

Kalimat barusan cukup menggambarkan secara menyeluruh akan rentetan tulisan macam apa yang akan kalian baca selanjutnya di bawah ini. Jika kalian berkenan, silahkan dilanjutkan.

Aku selalu melakukan yang terbaik sejak aku TK sampai kini usiaku akan berkepala dua jika aku beruntung sampai tahun depan.

Namun, nasib yang membawaku selalu menjatuhkanku, semua ini tak pernah sesuai dengan inginku.

Aku tak pernah bermimpi untuk sekolah di sekolah swasta yang selalu dipandang sebelah mata, tapi takdir selalu membawaku menjadi bagian dari sekolah yang tak kuinginkan itu.

Begitupun memasuki SMA, aku juga tak pernah mengharapkan kegagalan itu terjadi lagi, namun takdir mengharuskanku untuk merasakan sekolah swasta lagi.

Aku muak.

Tiap kukeluhkan semuanya, respon sekitarku hanya diam, mereka menghiburku dengan kata-kata yang sudah ribuan kali terdengar, “ini rejekimu..”

Menyebalkan.

Saat masuk kuliahpun aku memang berangan-angan lulus di fakultas kedokteran, tapi di universitas NEGERI, perlu kutekankan sekali lagi? AKU INGIN UNIVERSITAS NEGERI!

Menyedihkan? Kalian boleh tertawa.

Tapi, sekali lagi, takdirku berkata lain. Ya, aku memang lulus di kedokteran, aku mensyukuri itu, tapi... yaa, di universitas swasta. Kali ini aku tak perlu menekankannya.

Hei, hei.. bukannya aku tidak bersyukur! Aku bersyukur sekali. Dapat kuliahpun sudah kebahagiaan yang luar biasa. Tapi, banyak pikiran pesimis yang menggerogoti rasa percaya diriku.

Aku mulai memikirkan, berapa biaya yang harus orangtuaku keluarkan untukku hingga kelak aku dapat mengenakan jas putih suci itu dengan sebuah kepantasan. Kalian tahu kan, biaya kedokteran di universitas negeri saja sangat mahal, apalagi swasta!

Aku mulai memikirkan tentang masa lalu. Masa lalu? Ya, aku memikirkan besar pengorbanan orangtuaku dalam membiayai kehidupan sekolahku yang ‘terus-menerus’ di sekolah swasta.

Aku juga memikirkan, pengorbanan ayah yang dengan giat mencari uang demi kelangsungan bimbingan belajarku dulu saat menginjakkan kaki di kelas XII SMA, yah hanya satu tujuan beliau, “ANAK INI DAPAT LULUS DI FK PTN”

 Jika memikirkan semua itu, rasanya aku ingin segera mati. Ya, agar mereka tak semakin merasa sakit karena memiliki pecundang sepertiku. Agar mereka tidak malu terus-terusan merawat orang tak berguna sepertiku.

“Yang namanya orangtua, pasti ikhlas menerima keadaan anaknya.” Benar, bisikan itu memang benar.

Tapi, aku yang belum merasakan menjadi orangtua ini, tentu tak mengerti. Yang ada dipikiranku hanya pikiran-pikiran untuk menyerah dan tak ingin menyusahkan kedua malaikat itu lebih jauh lagi.

Mereka sungguh sangat keterlaluan baik.

Kedua malaikat itu sungguh sangat keterlaluan menyayangi anak bodoh sepertiku.

Mereka sungguh sangat keterlaluan..

Aku tidak mungkin bersikap seolah tak ada yang terjadi. Seolah tingkahku selama ini sama sekali tidak ada yang dirugikan. Tidak mungkin. Aku cukup tahu diri.

Ya, aku cukup dewasa hingga tahu diri mengenai kegagalan-kegagalan yang memalukan yang selalu kuraih. Kegagalan yang dapat mencatat rekor dalam buku keluargaku.

Sekarang aku benar-benar terpuruk, merasa sangat menjijikkan. Merasa sangat tidak berguna.

Ada banyak hal lagi yang benar-benar menjadi sebuah bukti bisu yang mengakui betapa pecundangnya aku. Namun, aku mungkin hanya dapat menorehkannya sedikit. Aku takut air mataku bisa menetes karena ini, hal itu dapat menambah bukti lagi betapa selain bodoh, tidak berguna, dan pecundang, ternyata aku juga LEMAH. Hal itu dapat menunjukkan betapa lemahnya gadis tengik yang sedang mengetik tulisan ini.

Aku tidak selemah itu sih, hanya pada saat-saat tertentu lamunan biasa yang tak kusadari, memaksa memutar otakku untuk mengingat masa-masa menyedihkan itu. Masa-masa kegagalan yang tak seorangpun pernah bermimpi untuk dapat juga merasakan hal yang sama.

Jika kalian melihat kehidupan nyataku,kalian akan berpikir, “ah, Ai ini berlebihan mengenai penderitaannya.”

Hmmm... ya, ada beberapa faktor yang kuduga kalian akan menarik kesimpulan seperti itu.

Faktor pertama, karena dalam kehidupan sehari-hari, aku seorang perempuan yang cukup humoris. Aku senang membuat orang sekelilingku tertawa walau aku harus berpura-pura dungu sekalipun. Sikapku yang seperti itu akan membuat kalian berpikir bahwa aku tak mungkin mengenal penderitaan, tangisan atau apalah semacamnya yang terlihat menyedihkan. Ya, humoris seperti itu kulakukan karena hanya dengan cara itu satu-satunya agar pecundang ini mempunyai teman, agar teman-teman dunia nyataku tak malu memperkenalkanku sebagai temannya.

Faktor kedua, tidak bermaksud sombong, tapi orang-orang terdekatku kadang mengatakan bahwa aku adalah orang beruntung karena bisa memperoleh nilai diatas standar pada beberapa ujian. Satu-satunya keberuntungan yang kumiliki itu akan membuat kalian mungkin berpikir bahwa aku tak sebodoh seperti yang kuceritakan sebelumnya. Karena aku yang selalu merasa bodoh bahkan sampai menyebut diriku ini pecundang, bodoh karena tak satupun sekolah negeri menerimaku di sana. Aku tekankan, ‘keberuntungan’ dan ‘kepintaran atau kecerdasan’ adalah sesuatu yang berbeda. Semua keberhasilan yang kuperoleh hanya sebuah keberuntungan.

Ya, kadang takdir berpihak padaku, memberi keberuntungan padaku, walau hanya pada saat aku menjalani proses pendidikan di sekolah/universitas. Keberuntungan itu tak pernah kurasakan saat mendaftar masuk di sekolah negeri. Aneh, bukan? Aku meraih prestasi di SMP, begitupun di SMA, tapi saat daftar masuk SMA maupun universitas, aku seperti orang yang sangat amat bodoh hingga sepertinya tidak pantas untuk sekolah di sekolah negeri. Itu yang kalian sebut kepintaran? Jujur, aku sendiri bingung, muak pada diri sendiri. Sampai akhirnya dulu aku berpikir bahwa keberuntungan, prestasi dan takdir ini... SEDANG MEMPERMAINKANKU. Beberapa tulisanku sebelumnya juga telah membahas ini.

Aku tidak bermaksud memaksa opini kalian untuk berpendapat bahwa akulah yang paling menderita, akulah yang paling menyedihkan. Tidak, tidak seperti itu. Aku hanya ingin kalian mempercayai ceritaku tanpa mengasihaniku, aku ingin membuang tumpukan kegagalan ini, sekarang adalah masa-masa sulitku, sedang merasakan puncak keletihan menjalani kehidupan. Aku ingin bisa hidup normal tanpa pikiran-pikiran hitam yang berputar-putar di kepalaku ini.

Tapi selalu saja, bayangan kedua orangtuaku ada di sana. Bayangan yang muncul adalah bayangan wajah mereka yang tampak kecewa begitu dalam kepadaku. Yah, bayangan inilah yang menjadi pupuk dasar hidupnya pikiran pesimis yang kini kian membesar dan menyesakkan ragaku. Bahkan semakin menyesakkan lagi, apabila kudapati diriku tertunduk malu akan kegagalan-kegagalan kecil yang terjadi padaku hari demi hari dalam dunia kampus. Juga semakin menyesakkan hingga rasanya ingin mati, apabila kudapati kedua orangtuaku sementara mengernyitkan dahi memikirkan bagaimana caranya mendapatkan lauk yang akan menemani sepiring nasiku juga saudara-saudaraku. Aku sering mendapati mereka yang seperti itu dalam keheningan. Walau mereka merasa bahwa mereka berhasil menyembunyikannya dengan bersikap ceria di hadapanku juga di hadapan saudaraku. Tidak ayah, tidak ibu... kumohon, jangan menampakkan wajah itu dibalik tubuh anak-anakmu, aku tersiksa perlahan karenanya. Bahagialah, kumohon!

Juga penyiksaan yang begitu dalam dan yang amat tajam menyeruak batinku, apabila mengingat apa yang sementara kujalani ini. Yaa.. bukankah aku sedang kuliah di kedokteran universitas swasta? Bukankah dengan kuliah di dunia kesehatan ini, aku dapat membahagiakan orangtuaku? Tapi, apabila mereka, kedua malaikatku itu ditakdirkan pergi lebih dulu dariku, lalu bagaimana denganku? Misiku untuk membahagiakan mereka dengan menjadi seorang dokter yang pantas di hadapan mereka, bagaimana? Bisakah aku mengenakan jas putih suci itu tepat waktu? Atau bahkan tak bisa kulanjutkan misi suci ini? Ya Allah, aku sampai gemetaran karena takut memikirkannya, aku mohon, biarkan mereka tetap hidup dengan sehat dan melihatku sebagai anak yang juga bisa diandalkan. Anak yang akhirnya bisa mereka banggakan. Sekali saja. Sekali saja aku ingin mereka benar-benar bahagia dengan apa yang kuraih dengan tanganku sendiri. Kebahagiaan yang bisa bertahan lama, bukan hanya dalam sejam, dua jam atau sehari. Kebahagiaan yang tak punya tenggang waktu tertentu. Walau berat dan terlihat mustahil, tapi aku ingin melakukannya. Sungguh.

Aku berharap, impian besarku yang satu-satunya masih kupertahankan ini, bisa tercapai..

Bisa kugenggam..

Dan bisa kuraih, sungguh bisa kuraih.. dengan kepantasan bersama tanggung jawab yang seharusnya.

Kali ini, biarkan aku mempertahankan ini, aku mohon Ya Allah. Aku rela bekerja paruh waktu jika itu mungkin, untuk membiayai kuliahku. Akan kulakukan apa saja yang masih dalam garis halal. Aku sudah terlalu sering menyusahkan dan mengecewakan kedua malaikat suci ini, tak pernah membuat mereka benar-benar bahagia.

Aku ingat, sejak SMA bahkan sampai sekarang, beberapa kali aku mencoba membantu dengan menabung uang jajan yang tak pernah mereka lupa berikan padaku tiap pagi. Ya, aku bahkan tidak makan seharian di sekolah / kampus hanya untuk menabung. Kugunakan uang itu untuk membelikan buku pelajaran / diktat kuliah. Beberapa kali kulakukan hal itu hingga akhirnya orangtuaku tahu dengan sendirinya. Padahal sudah kulakukan dengan sangat baik, benar-benar secara diam-diam. Rahasia menabung diam-diam ini kusembunyikan serapat mungkin hingga airpun tak dapat menembusnya, hingga cahayapun tak dapat melewatinya. Namun, tetap saja mereka dapat mengetahuinya entah bagaimana caranya. Kemudian mereka datang padaku dan memarahi sekaligus melarangku untuk melakukan hal yang mereka sebut bodoh ini. “Jangan lagi lakukan hal bodoh yang menyusahkan dirimu sendiri. Kalau kau sakit, bagaimana?” Kurang lebih seperti itu cara mereka mengartikan usaha menabung diam-diamku ini. Aku hanya mengangguk mengiyakan walau sebenarnya hatiku menolak.

Aku tak sepenurut itu, aku tetap melakukannya jika aku ingin. Kubatasi keinginanku akan suatu barang dan kubatasi rasa laparku di sekolah / kampus dengan coba melakukan hal lainnya. Dan itu berhasil membuat berat badanku turun hingga membuatku semakin kurus. Lagi-lagi, aku ketahuan mereka, kedua malaikatku.

Selain menabung diam-diam, aku juga menolak semua permintaan ibu yang menyarankanku untuk membeli sepatu baru, ransel baru bahkan ia pernah berpikir untuk mengganti kacamataku. Aku mati-matian menolak semua tawaran yang menurutku hanya membuang-buang uang saja, walau rasa ingin memiliki semua itu pernah terbersit dalam anganku.

Obsesiku untuk membantu keuangan keluarga membawa dampak besar dalam kehidupanku sehari-hari. Bahkan tak jarang aku menegur adik yang terkadang meminta sesuatu yang baru dari ibu. Aku menegurnya tepat dihadapan ibuku dan ibu hanya terdiam bisu melihat sikapku. Hingga suatu hari obsesi ini membuat adikku melewati batas, ia menyindirku tajam. Ibu melihat kami, dan tanpa kuduga, ibu mengangguk nyata akan pendapat adik keras kepala ini. Ibu lebih menyetujui sindiran adikku terhadapku.

Aku kesal hingga coba menjauh dari mereka. Kubawa mataku bersama tubuh ini menikmati angin di senja hari, merasakan terpaan lembut yang sekilas pergi. Dengan harapan, angin itu membawa kekesalanku ikut pergi bersamanya, hanyut di udara senja. Kumanjakan mata ini dengan menikmati pantulan warna senja, coba mengosongkan pikiranku dan menganggap tidak ada sesuatu penting yang telah terjadi. Lantunan melodi Jepang coba kusiulkan beberapa kali. Semuanya kulakukan untuk menenangkan raga dan batin ini.

Hingga tanpa sadar, tatapan kosongku berubah tajam, langit senja kutatapi dengan penuh pemikiran, alisku saling bertautan, dan aku mendengar ada bisikan kecil yang hampir tak terdengar, bisikan ini sedikit membuatku kesal, tapi rasanya..., ia benar.

“yaa, Ai, kau terlalu berlebihan. Bukannya membantu keuangan keluarga, malah menukar hubungan keharmonisan keluargamu dengan tumpukan uang yang kau obsesikan. Apa gunanya jika tak bahagia? Kau merusak semuanya.”

Hmm... kupeluk lututku seerat mungkin, menenggelamkan wajahku diantara lututku, air mataku jatuh, rasa penyesalan itu datang lagi. Dan lagi-lagi aku merasa tak berguna, apa yang kulakukan tak pernah berjalan mulus, selalu saja meleset dari tujuan yang sebenarnya. Inilah kenapa aku merasa pecundang yang bahkan tak pantas disebut pecundang. Jauh lebih rendah dari itu. Berlebihan? Memang terdengar berlebihan, ini hakku untuk memaki diriku sendiri.

Tuhan yang Maha Melihatku sedang mencaci diri sendiri, aku makhluk ciptaan-Mu yang mengharap cinta-Mu Ya Allah, memohon ampun dari-Mu atas semua luapan emosiku. Ampuni hamba, hamba juga benci rasa pesimis ini. Hamba juga benci sikap hamba yang terlalu menyalahkan apa yang telah hamba jalani atau yang seharusnya hamba jalani. Tapi, hamba tidak tahu caranya untuk keluar dari sini.

Kalian yang membaca ini, tolong bantu saya keluar dari kerapuhan yang melewati batas ini. Atau jika tidak, setelah membaca tulisan ini, tolong jangan menegurku saat kita bertemu di dunia nyata. Aku terlalu malu untuk memperlihatkan wajahku setelah mengungkap semua kisah menyakitkan ini. :’(

Hmm, sudahlah.. aku terlalu cerewet, terlalu banyak cerita tentang masalah pribadi yang tak seharusnya kulibatkan kalian yang membacanya. Walau sebenarnya masih ada yang ingin kutumpahkan, tapi sekali lagi, karena aku tak ingin air mataku juga ikut tumpah jauh lebih banyak dari yang ini, lebih baik kuhentikan saja dengan kalimat terimakasihku yang terdalam untuk keberanianku mengetik semua ini dan untuk kalian yang membacanya:

“Baiklah.. cukup sampai di sini, setidaknya aku merasa sedikit lega karena telah membuat beberapa lembar celotehan yang cukup mengganggu pikiranku beberapa hari ini. Terimakasih telah membaca. Akan jauh lebih baik lagi jika kalian menyarankanku sesuatu. Aku akan menghargainya. Hmmm, satu senyuman untuk kalian walau sebenarnya keluar bersama beberapa tetes air mata yang mulai mengering.
^__^”

----

Hmmm... payah ya tulisan saya, benar-benar pecundang. Setahun yang lalu, rupanya saya sudah sejauh itu, sejauh isi tulisan saya, pasti sangat menyedihkan penampakanku dulunya.

Sekarang ini, isi tulisan itu rasanya masih sama. Walau ada perubahan-perubahan kecil yang lebih baik :)

0 comments: