----
Ini cerita dari seorang anak perempuan yang sudah mulai
beranjak dewasa dan mulai memenuhi pikirannya dengan sebuah pertanggungjawaban
besar yang harus ia lakukan sebagai seorang anak yang alhamdulillah masih
memiliki kedua orangtua.
Ya, aku tidak pernah berpikir menjadi seorang yang seperti
ini, seorang yang pecundang.
Kalimat barusan cukup menggambarkan secara menyeluruh akan
rentetan tulisan macam apa yang akan kalian baca selanjutnya di bawah ini. Jika
kalian berkenan, silahkan dilanjutkan.
Aku selalu melakukan yang terbaik sejak aku TK sampai kini
usiaku akan berkepala dua jika aku beruntung sampai tahun depan.
Namun, nasib yang membawaku selalu menjatuhkanku, semua ini
tak pernah sesuai dengan inginku.
Aku tak pernah bermimpi untuk sekolah di sekolah swasta yang
selalu dipandang sebelah mata, tapi takdir selalu membawaku menjadi bagian dari
sekolah yang tak kuinginkan itu.
Begitupun memasuki SMA, aku juga tak pernah mengharapkan
kegagalan itu terjadi lagi, namun takdir mengharuskanku untuk merasakan sekolah
swasta lagi.
Aku muak.
Tiap kukeluhkan semuanya, respon sekitarku hanya diam,
mereka menghiburku dengan kata-kata yang sudah ribuan kali terdengar, “ini
rejekimu..”
Menyebalkan.
Saat masuk kuliahpun aku memang berangan-angan lulus di
fakultas kedokteran, tapi di universitas NEGERI, perlu kutekankan sekali lagi? AKU
INGIN UNIVERSITAS NEGERI!
Menyedihkan? Kalian boleh tertawa.
Tapi, sekali lagi, takdirku berkata lain. Ya, aku memang
lulus di kedokteran, aku mensyukuri itu, tapi... yaa, di universitas swasta.
Kali ini aku tak perlu menekankannya.
Hei, hei.. bukannya aku tidak bersyukur! Aku bersyukur
sekali. Dapat kuliahpun sudah kebahagiaan yang luar biasa. Tapi, banyak pikiran
pesimis yang menggerogoti rasa percaya diriku.
Aku mulai memikirkan, berapa biaya yang harus orangtuaku
keluarkan untukku hingga kelak aku dapat mengenakan jas putih suci itu dengan
sebuah kepantasan. Kalian tahu kan, biaya kedokteran di universitas negeri saja
sangat mahal, apalagi swasta!
Aku mulai memikirkan tentang masa lalu. Masa lalu? Ya, aku
memikirkan besar pengorbanan orangtuaku dalam membiayai kehidupan sekolahku
yang ‘terus-menerus’ di sekolah swasta.
Aku juga memikirkan, pengorbanan ayah yang dengan giat
mencari uang demi kelangsungan bimbingan belajarku dulu saat menginjakkan kaki
di kelas XII SMA, yah hanya satu tujuan beliau, “ANAK INI DAPAT LULUS DI FK
PTN”
Jika memikirkan semua
itu, rasanya aku ingin segera mati. Ya, agar mereka tak semakin merasa sakit
karena memiliki pecundang sepertiku. Agar mereka tidak malu terus-terusan
merawat orang tak berguna sepertiku.
“Yang namanya orangtua, pasti ikhlas menerima keadaan
anaknya.” Benar, bisikan itu memang benar.
Tapi, aku yang belum merasakan menjadi orangtua ini, tentu
tak mengerti. Yang ada dipikiranku hanya pikiran-pikiran untuk menyerah dan tak
ingin menyusahkan kedua malaikat itu lebih jauh lagi.
Mereka sungguh sangat keterlaluan baik.
Kedua malaikat itu sungguh sangat keterlaluan menyayangi
anak bodoh sepertiku.
Mereka sungguh sangat keterlaluan..
Aku tidak mungkin bersikap seolah tak ada yang terjadi.
Seolah tingkahku selama ini sama sekali tidak ada yang dirugikan. Tidak
mungkin. Aku cukup tahu diri.
Ya, aku cukup dewasa hingga tahu diri mengenai kegagalan-kegagalan
yang memalukan yang selalu kuraih. Kegagalan yang dapat mencatat rekor dalam
buku keluargaku.
Sekarang aku benar-benar terpuruk, merasa sangat
menjijikkan. Merasa sangat tidak berguna.
Ada banyak hal lagi yang benar-benar menjadi sebuah bukti
bisu yang mengakui betapa pecundangnya aku. Namun, aku mungkin hanya dapat
menorehkannya sedikit. Aku takut air mataku bisa menetes karena ini, hal itu
dapat menambah bukti lagi betapa selain bodoh, tidak berguna, dan pecundang,
ternyata aku juga LEMAH. Hal itu dapat menunjukkan betapa lemahnya gadis tengik
yang sedang mengetik tulisan ini.
Aku tidak selemah itu sih, hanya pada saat-saat tertentu
lamunan biasa yang tak kusadari, memaksa memutar otakku untuk mengingat
masa-masa menyedihkan itu. Masa-masa kegagalan yang tak seorangpun pernah
bermimpi untuk dapat juga merasakan hal yang sama.
Jika kalian melihat kehidupan nyataku,kalian akan berpikir,
“ah, Ai ini berlebihan mengenai penderitaannya.”
Hmmm... ya, ada beberapa faktor yang kuduga kalian akan
menarik kesimpulan seperti itu.
Faktor pertama, karena dalam kehidupan sehari-hari, aku
seorang perempuan yang cukup humoris. Aku senang membuat orang sekelilingku
tertawa walau aku harus berpura-pura dungu sekalipun. Sikapku yang seperti itu
akan membuat kalian berpikir bahwa aku tak mungkin mengenal penderitaan,
tangisan atau apalah semacamnya yang terlihat menyedihkan. Ya, humoris seperti
itu kulakukan karena hanya dengan cara itu satu-satunya agar pecundang ini
mempunyai teman, agar teman-teman dunia nyataku tak malu memperkenalkanku
sebagai temannya.
Faktor kedua, tidak bermaksud sombong, tapi orang-orang
terdekatku kadang mengatakan bahwa aku adalah orang beruntung karena bisa
memperoleh nilai diatas standar pada beberapa ujian. Satu-satunya keberuntungan
yang kumiliki itu akan membuat kalian mungkin berpikir bahwa aku tak sebodoh
seperti yang kuceritakan sebelumnya. Karena aku yang selalu merasa bodoh bahkan
sampai menyebut diriku ini pecundang, bodoh karena tak satupun sekolah negeri
menerimaku di sana. Aku tekankan, ‘keberuntungan’ dan ‘kepintaran atau
kecerdasan’ adalah sesuatu yang berbeda. Semua keberhasilan yang kuperoleh
hanya sebuah keberuntungan.
Ya, kadang takdir berpihak padaku, memberi keberuntungan
padaku, walau hanya pada saat aku menjalani proses pendidikan di
sekolah/universitas. Keberuntungan itu tak pernah kurasakan saat mendaftar
masuk di sekolah negeri. Aneh, bukan? Aku meraih prestasi di SMP, begitupun di
SMA, tapi saat daftar masuk SMA maupun universitas, aku seperti orang yang sangat
amat bodoh hingga sepertinya tidak pantas untuk sekolah di sekolah negeri. Itu
yang kalian sebut kepintaran? Jujur, aku sendiri bingung, muak pada diri
sendiri. Sampai akhirnya dulu aku berpikir bahwa keberuntungan, prestasi dan
takdir ini... SEDANG MEMPERMAINKANKU. Beberapa tulisanku sebelumnya juga telah
membahas ini.
Aku tidak bermaksud memaksa opini kalian untuk berpendapat
bahwa akulah yang paling menderita, akulah yang paling menyedihkan. Tidak,
tidak seperti itu. Aku hanya ingin kalian mempercayai ceritaku tanpa
mengasihaniku, aku ingin membuang tumpukan kegagalan ini, sekarang adalah
masa-masa sulitku, sedang merasakan puncak keletihan menjalani kehidupan. Aku
ingin bisa hidup normal tanpa pikiran-pikiran hitam yang berputar-putar di
kepalaku ini.
Tapi selalu saja, bayangan kedua orangtuaku ada di sana.
Bayangan yang muncul adalah bayangan wajah mereka yang tampak kecewa begitu
dalam kepadaku. Yah, bayangan inilah yang menjadi pupuk dasar hidupnya pikiran
pesimis yang kini kian membesar dan menyesakkan ragaku. Bahkan semakin
menyesakkan lagi, apabila kudapati diriku tertunduk malu akan
kegagalan-kegagalan kecil yang terjadi padaku hari demi hari dalam dunia kampus.
Juga semakin menyesakkan hingga rasanya ingin mati, apabila kudapati kedua
orangtuaku sementara mengernyitkan dahi memikirkan bagaimana caranya
mendapatkan lauk yang akan menemani sepiring nasiku juga saudara-saudaraku. Aku
sering mendapati mereka yang seperti itu dalam keheningan. Walau mereka merasa
bahwa mereka berhasil menyembunyikannya dengan bersikap ceria di hadapanku juga
di hadapan saudaraku. Tidak ayah, tidak ibu... kumohon, jangan menampakkan
wajah itu dibalik tubuh anak-anakmu, aku tersiksa perlahan karenanya.
Bahagialah, kumohon!
Juga penyiksaan yang begitu dalam dan yang amat tajam menyeruak
batinku, apabila mengingat apa yang sementara kujalani ini. Yaa.. bukankah aku sedang
kuliah di kedokteran universitas swasta? Bukankah dengan kuliah di dunia
kesehatan ini, aku dapat membahagiakan orangtuaku? Tapi, apabila mereka, kedua
malaikatku itu ditakdirkan pergi lebih dulu dariku, lalu bagaimana denganku?
Misiku untuk membahagiakan mereka dengan menjadi seorang dokter yang pantas di
hadapan mereka, bagaimana? Bisakah aku mengenakan jas putih suci itu tepat
waktu? Atau bahkan tak bisa kulanjutkan misi suci ini? Ya Allah, aku sampai
gemetaran karena takut memikirkannya, aku mohon, biarkan mereka tetap hidup dengan
sehat dan melihatku sebagai anak yang juga bisa diandalkan. Anak yang akhirnya
bisa mereka banggakan. Sekali saja. Sekali saja aku ingin mereka benar-benar
bahagia dengan apa yang kuraih dengan tanganku sendiri. Kebahagiaan yang bisa
bertahan lama, bukan hanya dalam sejam, dua jam atau sehari. Kebahagiaan yang
tak punya tenggang waktu tertentu. Walau berat dan terlihat mustahil, tapi aku
ingin melakukannya. Sungguh.
Aku berharap, impian besarku yang satu-satunya masih
kupertahankan ini, bisa tercapai..
Bisa kugenggam..
Dan bisa kuraih, sungguh bisa kuraih.. dengan kepantasan
bersama tanggung jawab yang seharusnya.
Kali ini, biarkan aku mempertahankan ini, aku mohon Ya
Allah. Aku rela bekerja paruh waktu jika itu mungkin, untuk membiayai kuliahku.
Akan kulakukan apa saja yang masih dalam garis halal. Aku sudah terlalu sering
menyusahkan dan mengecewakan kedua malaikat suci ini, tak pernah membuat mereka
benar-benar bahagia.
Aku ingat, sejak SMA bahkan sampai sekarang, beberapa kali
aku mencoba membantu dengan menabung uang jajan yang tak pernah mereka lupa
berikan padaku tiap pagi. Ya, aku bahkan tidak makan seharian di sekolah / kampus
hanya untuk menabung. Kugunakan uang itu untuk membelikan buku pelajaran / diktat
kuliah. Beberapa kali kulakukan hal itu hingga akhirnya orangtuaku tahu dengan
sendirinya. Padahal sudah kulakukan dengan sangat baik, benar-benar secara
diam-diam. Rahasia menabung diam-diam ini kusembunyikan serapat mungkin hingga
airpun tak dapat menembusnya, hingga cahayapun tak dapat melewatinya. Namun,
tetap saja mereka dapat mengetahuinya entah bagaimana caranya. Kemudian mereka
datang padaku dan memarahi sekaligus melarangku untuk melakukan hal yang mereka
sebut bodoh ini. “Jangan lagi lakukan hal bodoh yang menyusahkan dirimu
sendiri. Kalau kau sakit, bagaimana?” Kurang lebih seperti itu cara mereka
mengartikan usaha menabung diam-diamku ini. Aku hanya mengangguk mengiyakan
walau sebenarnya hatiku menolak.
Aku tak sepenurut itu, aku tetap melakukannya jika aku
ingin. Kubatasi keinginanku akan suatu barang dan kubatasi rasa laparku di sekolah
/ kampus dengan coba melakukan hal lainnya. Dan itu berhasil membuat berat
badanku turun hingga membuatku semakin kurus. Lagi-lagi, aku ketahuan mereka,
kedua malaikatku.
Selain menabung diam-diam, aku juga menolak semua permintaan
ibu yang menyarankanku untuk membeli sepatu baru, ransel baru bahkan ia pernah
berpikir untuk mengganti kacamataku. Aku mati-matian menolak semua tawaran yang
menurutku hanya membuang-buang uang saja, walau rasa ingin memiliki semua itu
pernah terbersit dalam anganku.
Obsesiku untuk membantu keuangan keluarga membawa dampak
besar dalam kehidupanku sehari-hari. Bahkan tak jarang aku menegur adik yang
terkadang meminta sesuatu yang baru dari ibu. Aku menegurnya tepat dihadapan
ibuku dan ibu hanya terdiam bisu melihat sikapku. Hingga suatu hari obsesi ini
membuat adikku melewati batas, ia menyindirku tajam. Ibu melihat kami, dan
tanpa kuduga, ibu mengangguk nyata akan pendapat adik keras kepala ini. Ibu
lebih menyetujui sindiran adikku terhadapku.
Aku kesal hingga coba menjauh dari mereka. Kubawa mataku
bersama tubuh ini menikmati angin di senja hari, merasakan terpaan lembut yang
sekilas pergi. Dengan harapan, angin itu membawa kekesalanku ikut pergi
bersamanya, hanyut di udara senja. Kumanjakan mata ini dengan menikmati pantulan
warna senja, coba mengosongkan pikiranku dan menganggap tidak ada sesuatu
penting yang telah terjadi. Lantunan melodi Jepang coba kusiulkan beberapa
kali. Semuanya kulakukan untuk menenangkan raga dan batin ini.
Hingga tanpa sadar, tatapan kosongku berubah tajam, langit
senja kutatapi dengan penuh pemikiran, alisku saling bertautan, dan aku
mendengar ada bisikan kecil yang hampir tak terdengar, bisikan ini sedikit
membuatku kesal, tapi rasanya..., ia benar.
“yaa, Ai, kau terlalu berlebihan. Bukannya membantu keuangan
keluarga, malah menukar hubungan keharmonisan keluargamu dengan tumpukan uang
yang kau obsesikan. Apa gunanya jika tak bahagia? Kau merusak semuanya.”
Hmm... kupeluk lututku seerat mungkin, menenggelamkan
wajahku diantara lututku, air mataku jatuh, rasa penyesalan itu datang lagi.
Dan lagi-lagi aku merasa tak berguna, apa yang kulakukan tak pernah berjalan
mulus, selalu saja meleset dari tujuan yang sebenarnya. Inilah kenapa aku
merasa pecundang yang bahkan tak pantas disebut pecundang. Jauh lebih rendah
dari itu. Berlebihan? Memang terdengar berlebihan, ini hakku untuk memaki
diriku sendiri.
Tuhan yang Maha Melihatku sedang mencaci diri sendiri, aku makhluk
ciptaan-Mu yang mengharap cinta-Mu Ya Allah, memohon ampun dari-Mu atas semua
luapan emosiku. Ampuni hamba, hamba juga benci rasa pesimis ini. Hamba juga
benci sikap hamba yang terlalu menyalahkan apa yang telah hamba jalani atau
yang seharusnya hamba jalani. Tapi, hamba tidak tahu caranya untuk keluar dari
sini.
Kalian yang membaca ini, tolong bantu saya keluar dari
kerapuhan yang melewati batas ini. Atau jika tidak, setelah membaca tulisan
ini, tolong jangan menegurku saat kita bertemu di dunia nyata. Aku terlalu malu
untuk memperlihatkan wajahku setelah mengungkap semua kisah menyakitkan ini. :’(
Hmm, sudahlah.. aku terlalu cerewet, terlalu banyak cerita tentang
masalah pribadi yang tak seharusnya kulibatkan kalian yang membacanya. Walau
sebenarnya masih ada yang ingin kutumpahkan, tapi sekali lagi, karena aku tak
ingin air mataku juga ikut tumpah jauh lebih banyak dari yang ini, lebih baik
kuhentikan saja dengan kalimat terimakasihku yang terdalam untuk keberanianku
mengetik semua ini dan untuk kalian yang membacanya:
“Baiklah.. cukup sampai di sini, setidaknya aku merasa
sedikit lega karena telah membuat beberapa lembar celotehan yang cukup
mengganggu pikiranku beberapa hari ini. Terimakasih telah membaca. Akan jauh lebih
baik lagi jika kalian menyarankanku sesuatu. Aku akan menghargainya. Hmmm, satu
senyuman untuk kalian walau sebenarnya keluar bersama beberapa tetes air mata
yang mulai mengering.
^__^”
----
Hmmm... payah ya tulisan saya, benar-benar pecundang. Setahun yang lalu, rupanya saya sudah sejauh itu, sejauh isi tulisan saya, pasti sangat menyedihkan penampakanku dulunya.
Sekarang ini, isi tulisan itu rasanya masih sama. Walau ada perubahan-perubahan kecil yang lebih baik :)
Tweet |
0 comments:
Post a Comment