Begitu banyak rangkaian kata membentuk cerita yang berbaris-baris ingin kutumpahkan di blog pribadiku ini agar dapat menjadi alarm pengingat, alarm rindu akan masa yang baru saja akan menjadi kenangan. Masih teringat jelas duapuluh delapan hari yang lalu, saya berada di dalam sebuah bus yang sedang menuju sebuah pemukiman kecil bernama Padang Lampe di daerah Pangkep.
Saya begitu menikmati perjalanan berkat rangkaian pemandangan penyegar mata yang tak kudapatkan di kota. Padang Lampe adalah nama daerah kecil yang di mana di dalamnya terdapat sebuah pesantren sederhana, tempat yang kutuju hari itu. Saya bersama teman sesame fakultas dan teman dari dua fakultas lainnya ingin melakukan kegiatan islamiyah, yaitu Pencerahan Qalbu di pesantren tersebut.
Kesan pertama, “Wah, bakal jadi gadis desa nih selama sebulan, oh tidaaakk..” teman yang lain ada yang mengangguk ada yang geleng-geleng kepala. Singkat cerita, saya bersama tujuh teman sefakultas dibawa ke sebuah pondokan tempat kami akan tinggal sebulan ke depan. Kini saya berdiri di depan sebuah kamar lusuh bernomorkan E8. Kesan kedua, “Huft, semoga bisa bertahan lama..” teman yang lain geleng-geleng kepala.
Saya memang termasuk orang yang sulit beradaptasi dan suka mengomentari hal baru. “Ananda, kelas 12 kah?” seorang pria berbaju kokoh menyambut kami dengan sesimpul senyuman. Tutur katanya lembut dan cukup menenangkan perasaanku. Kesan terhadapnya, “Wah, baiknyaa..” kesan ini kuucapkan dalam hati.
“Iya, Ayah…” jawab kami hampir serentak. Oh ya saya lupa, para pengajar dan wali yang akan membimbing kami selama sebulan dipanggil dengan sapaan Ayah atau Bunda. Pria bersahaja yang menyambut kami adalah wali kelas kami, Ayah Muhammad Wakka.
“Nak, ada seprai ranjang di kantin, boleh diambil untuk melapisi ranjang ananda..” wali yang perhatian, saya menyukainya. Singkat cerita, Ayah Muhammad menyuruh kami beristirahat sebentar lalu kemudian bersiap-siap untuk mengikuti sholat Ashar berjamaah di masjid. Kebiasaan baru yang saya lakukan selama dalam kegiatan ini adalah, sholat tepat waktu. Alhamdulillah.
Begini awal ceritanya, kebiasaan di Makassar untuk sholat Ashar itu kalau bukan di penghujung waktu, di tengah-tengah, yaah tidak sholat. Kadang sih tepat waktu juga kalau lagi datang ‘kesadaran diri saya’.
Lanjuut..
Suara panggilan untuk sholat itu terdengar sekitar jam tiga siang. Tak lama kemudian, terdengar adzan berkumandang. Hari pertama, masih terasa berat bagi saya untuk pergi ke masjid terlalu cepat apalagi jarak masjid yang jauh dari kamar saya. Setiba di sana, kami diajari untuk mengikhlaskan diri melaksanakan sholat tahiyyatul masjid dan sholat sunnah sebelum sholat fardhu, jujur saya paling malas melakukan sholat sunnah, jadi masih berasa berat. Setelah sholat fardhu, kegiatan rutin di sana ialah membaca wirid dan berdzikir, ini kegiatan yang paling kusukai. Lalu, mic yang memimpin wirid tadi dialihkan ke ayah lain, ayah itu berdiri dan mengucap salam kemudian memberi beberapa penjelasan…
“Ananda, kebiasaan kita di Padang Lampe setelah baca wirid dan berdzikir adalah membaca hadist Rasulullah SAW. Nah, Ananda, saran ayah, hadist yang dibaacakan kemudian sebaiknya dicatat untuk dipelajari, dipahami dan kemudian diamalkan.setelah baca hadist, lalu dipersilahkan kembali untuk mengikhlaskan diri melaksanakan sholat sunnah setelah sholat fardhu khususnya untuk sholat dhuhur, magrib dan isya saja yang memang miliki sholat sunnah ba’diyah.”
Saya mengambil pulpen dan buku tulis, nah mulai saat itulah saya suka mendengar hadist. Sekarang, hampir setengah halaman pada buku tulis itu dipenuhi oleh hadist. Setelah itu, karena sholat ashar tidak ada sholat ba’diyahnya, kegiatan dilanjutkan dengan tadarrus surah Ar-Rahman. Nah, kebiasaan baru kembali bertambah yaitu tadarrus Al-Qur’an surah Al-Wa’qiah setelah subuh, surah An-Naba setelah dhuhur, surah Ar-Rahman setelah ashar, surah Yasin Fadhilah setelah magrib dan surah Al-Mulk setelah isya. Namun sebelum mengaji, dibuat terlebih dahulu khalaqah-khalaqah atau duduk membentuk lingkaran tiap kelas. Khalaqahnya harus sempurna membentuk lingkaran, ini mengikuti sunnah rasul. Setelah itu kembali ke pondokan untuk menunggu waktu sholat magrib. Waktu yang terbuang cukup banyak, inilah waktu yang digunakan untuk silaturrahim dengan teman sekamar, ngemil dan nongkrong di café-café (nama warung kecil yang banyak tersebar kiosnya di sekitar kamar).
Sayapun mulai mengenal teman sekamar saya hingga saat ini saya mengetik cerita ini, rasanya masih berat meninggalkan mereka. Saya masih ingat, awalnya kami sangat kaku untuk memulai pembicaraan. Tapi saya juga sudah lupa kapan dan bagaimana permulaannya, sekarang kami sangat-sangat-sangat dekat.
Perkenalkan, dari fakultas sastra: Irma, Tiwi, Ayu, Ima, Fitri, dan Enchy. Dari fakultas farmasi: Jumriah, Nurma, Karni, dan Ria kemudian dari sesama fakultas: Wiwin, Ian, Arifah, Indira, Dini, Mawar, dan Ria.
Adzan magribpun berkumandang, para santriwati baru ternasuk saya berlomba-lomba ke masjid untuk mengambil shaf terdepan. Yang berbeda setelah sholat magrib adalah membaca surah Yasin Fadhilah yang sangat panjang bacaannya, memang berat, tapi kami terus belajar untuk ikhlas karena ALLAH SWT.
Setelah itu kami berdzikir, ini adalah saat yang kusukai yang di mana kami berdzikir bersama namun merenungkan masalah masing-masing. Tak jarang air mata dari seorang hina dina sepertiku jatuh ke bumi, kuharap itu dapat menghapus dosa yang kuperbuat. Ibadah sunnah yang dilakukan pada kegiatan Pencerahan Qalbu yaitu sholat sunnah tasbih tiap hari Jumat, sujud tilawah tiap subuh hari jumat, sholat sunnah taubat (dua kali), dan hmmm… yang pastinya shalat sunnah sebelum dan sesudah sholat fardhu tidak boleh ketinggalan. ^^b
Dzikir bersama ini adalah selingan untukmenunggu masuknya waktu sholat Isya. Setelah itu, kami pun sholat Isya dengan berjamaah. Kemudian mendengar hadist, sholat sunnah ba’diyah lalu membaca surah Al-Mulk. Lalu, ayahanda wali tercinta memnaggil kami untuk mengabsen, kemudian membagi tugas piket untuk sarappan pagi, makan siang dan makan malam. Saya dapat tugas piket malam. “Ananda yang bertugas, silahkan ke dapur ambil makanannya.. untuk sementara kita makan di dapur, karena ruang aula yang seharusnya digunakan belum dibersihkan. Ayo ananda..”
Tugas saya di sini adalah mengangkat baki, teman yang lain ada yang mengangkat jumbo air, gelas dan cerek tempat cuci tangan.
Sayapun ke dapur, “Yang mana yang mau diangkat?” tanya saya.
“ituuu..” seseorang yang bertugas di dapur menunjuk ke satu barisan penuh dengan baki dengan satu baki terdiri atas empat porsi.
Kesan awalnya merasa aneh, lucu dan yah tidak apa-apa, buat seru-seruan. Menu favorit yang selalu dan pasti aka nada di Padang Lampe adalah ikan gorang bersama cabe khasnya. Itu menu utama makan siang dan makan malam. Namun, khusus untuk hari-hari tertentu seperti hari minggu atau hari spesial, kami diberi makan ayam goreng atau daging sapi yang dijadikan sup.
Sebelum menyantap tak lupa kami berdoa bersama dengan mengeraskan suara, itu kebiasaan baru. Tujuannya untuk mendapat berkah dari kebersamaan. Menurutku begitu.
Kemudian kami kembali ke kamar untuk istirahat. Tiga hari pertama, jadwal kami dibangunkan oleh ayah dan bunda adalah jam setengah lima, ya itu untuk sholat subuh bersama. Kemudian, setelah lewat tiga hari kamipun dibiasakan untuk bangun pukul tiga tengah malam untuk sholat tahjjud berjamaah. Ini berat bagi saya yang sangat susah bangun tengah malam. Ayah dan bunda membangunkan kami dengan cara mengetuk pintu dengan keras, berteriak dan juga memakai speaker.
Setelah mendengar kami menyahut, “iya ayah, iya bunda.. kami sudah bangun..” seketika juga suara rebut-ribut di depan kamar menghilang.
Kadang juga, ayah/bunda membalas sahutan kami, “bangun tapi masih ditempat tidur? Ayo nanda bergegas, sholat sholat sholaaaaat.” Hhahaha… :’)
Sholat tahajjud yang kami lakukan sebanyak delapan rakaat. Lalu tambah witir tiga rakaat. Kemudian sembari menunggu subuh, kami menghapalkan surah-surah pendek juz tigapuluh. Setelah hafal, kami dapat menyetor hafalan ke wali kami, terkadang ada candaan, lawakan dan tawa saat menghapal. Itulah yang membuat kami dekat dengan wali kami. :’) *Ai jadi rinduuu*
Semua itu saya lakukan selama duapuluh delapan hari ke belakang. Benar-benar masa yang takkan terlupakan. Setelah mendengar adzan subuh, kami dipersilahkan untuk sholat sunnah, juga memperbaharui wudhu’ yang mungkin saja telah batal karena tak jarang kami mengantuk atau bahkan sampai tertidur waktu melaksanakan sholat tahajjud dan saat menunggu adzan subuh. Hehehe…
“Survey membuktikan, dari semua kegiatan ibadah Padang Lampe, bagian yang tersulit adalah bangun untuk sholat lail” Wkwkwk… begitu kata ayah Syamsuddin.
Setelah sholat subuh, kamipun berdzikir kembali sembari menunggu waktu sholat sunnah dhuha, kami berdzikir sama seperti berdzikir saat menunggu masuk sholat isya. Kami merenungkan dosa kami, mengingat pencipta kami, mengingat kelalaian kami. Setelah sholat dhuha, kami pun bergegas untuk sarapan pagi. Saya lupa berapa hari kelas saya makan di dapur dyang kemudian akhirnya pindah ruang makan ke aula. Hmmm, tidak penting juga sih.. hehehe..
Sarapannya adalah telur kocok, nasi, juga makan mie goreng (kadang ada, kadang tidak ada) bersama sambalnya. :D
Oh ya, tiap makan, kami selalu didampingi wali tercinta, saat makan itu jualah kami menjadi lebih akrab dengan beliau.
Setelah makan, kembali ke pondokan untuk mandi (hampir tiap dua hari sekali, waktu mandi saya persingkat karena mencuci baju, belajar mandiri… hehehe) dan bersiap-siap untuk belajar materi kuliah seputar agama Islam yang dalam hal ini Aqidah oleh ayah Syamsuddin, Akhlak oleh bunda Maryam, Syariah oleh ayah Rahim dan Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh ayah Bisri.
Kelas saya, kelas 12 tidak kebagian ruang kelas, jadi, kami belajar di pelataran masjid. Itulah juga alasannya kami makan di ruang aula, yaaah karena kami tak punya kelas. Kelas 13 juga senasib dengan kelas 12. Jadi, serasa kelas 12 dan 13 itu hanya terdiri dari satu kelas dengan dua orang wali yang mencintai merekaaa. :D
Oh ya, mengenai wali, tiap tiga hari, wali kami diganti dengan wali baru. Masing-masing kelas punya dua orang wali yang tiap tiga harinya akan bertukar untuk membimbing kami di Padang Lampe, sedang wali yang sudah membimbing kami, kembali ke Makassar dalam tiga hari. Begitu seterusnya. Beruntungnya, kelas 12 memiliki wali-wali kelas yang humoris dan cukup banyak pengagumnya, mereka bernama ayah Muhammad Wakka dan Ahmad Wakka. Mereka memiliki marga yang sama, wajaaaaar… syukurnya, mereka ini bersaudara dan sangat miiiiiriiiip!
Yang mereka pegang itu adalah hadiah dari kami (anak walinya) saat malam terakhir berada di Padang Lampe.. sediiiiiih banget, beraaat ditinggal mereka. :’( Ayah Muhammad Insya Allah sebentar lagi menikah dan ayah Ahmad sudah punya anak, padahal yang kakak tuh ayah Muhammad.. :D
Mereka berdua paling susah buat duduk berdekatan, mereka tidak mau para santriwati jadi heboh karena wajah mereka yang mirip dan terlihat lucu kalau memang berdekatan. :D tapi, khusus untuk anak walinya (sebenarnya kami juga memaksa sih) akhirnya mereka mau duduk bahkan foto berdiri berdampingan. Hihihih…
Oh ya, di Padang Lampe ini jangan bilang kerjaan kami hanya makan, tidur, ibadah, belajar saja. Ada juga lomba Asmaul Husna yang kebetulan shiftnya ayah Ahmad yang adakan lomba itu. Sempat ada cekcok antar banyak kepala di kelas 12, tapi kata ayah Ahmad, “itu wajar nandaa..” dengan wajah tidak berekspresinya. XD
Kami juga dibuat pusing untuk cari ruangan buat latihan, karena seperti yang kukatakan sebelumnya, kami tidak punya kelaaaaaaasss…Wkwkwk.. hingga akhirnya, ayah Ahmad dikawali kami, memajak kelas 8 agar mengizinkan kami latihan di sana, dan akhirnya berhasiiiilll… berkat senyuman maut ayah Ahmad mungkin yah. Hahaha…
Kamipun latihan, atur posisi dan sebagainya didampingi ayah Ahmad. Ayah menyarankan kami melakukan gerakan manja ala girlband chiby (gatau). Nih foto ayah: imuuuut kan? huahuahua
Hari perlombaan tibaaa, kami membawakan lagu Asmaul Husna, Sholawatun Badar dan Padang Lampe (editan lagu kota santri ala sekreativitas kami).
Inilah kami, sebelum lomba…
Hehehe… kelas 12 memang paling heboh walaupun gak dapat juara. Wkwkww… Selain lomba, kami juga biasanya jalan pagi bersama..
Biasanya juga kami gotong royong bersih-bersih sekitar masjid, habis itu foto-foto deh…
Foto-foto bareng ayahdan bunda:
ini nurma dan ayah Yunuuuuss ><
Dari semua ayah dan bunda, saya khususnya kagum kepada ayah Muhammad dan ayah Ahmad selaku wali yang paling baaaaiiikk, ayah Yunus yang paling bisa bikin saya nangisss karena kata-katanya yang daleem, ayah Rahim yang penyayang dan tempat curhat anandanya, bunda Maryam yang cara nagajarnya kadang bikin saya serius kadang juga ngantuk dan wah suaranya bikin merinding, bunda Jo yang kalau ngaji bikin perasaan jadi tenaaang banget, ayah Syamsuddin yang cerdas yang selalu menantang pertanyaannya, ayah Thoha yang lucu dan saya suka cara menjelaskannya, ayah Zain yang bersahaja banget, ayah Uje yang merdu sekali suaranya melantunkan ayat-ayat Allah.. subhanallah.. :DD
• APA KABAR NANDA?
ALHAMDULILLAH, HATIKU, PIKIRANKU, SEMANGATKU, HIDUPKU, MATIKU LILLAHI RABBIL ALAMIN. ALLAHU AKBAR!!!
• BAGAIMANA PADANG LAMPE?
SUBHANALLAH, LUAR BIASA!
Oh ya, terakhir tentang di sana itu kalau lagi bosan, saya suka main sama kucing manja di sekitar masjid atau kalau tidak, saya suka lihat anjing yang sedang malas-malasan. Hehehe.. anjing di sana jinaaaaaaak!
Kesan pertama, “Wah, bakal jadi gadis desa nih selama sebulan, oh tidaaakk..” teman yang lain ada yang mengangguk ada yang geleng-geleng kepala. Singkat cerita, saya bersama tujuh teman sefakultas dibawa ke sebuah pondokan tempat kami akan tinggal sebulan ke depan. Kini saya berdiri di depan sebuah kamar lusuh bernomorkan E8. Kesan kedua, “Huft, semoga bisa bertahan lama..” teman yang lain geleng-geleng kepala.
Saya memang termasuk orang yang sulit beradaptasi dan suka mengomentari hal baru. “Ananda, kelas 12 kah?” seorang pria berbaju kokoh menyambut kami dengan sesimpul senyuman. Tutur katanya lembut dan cukup menenangkan perasaanku. Kesan terhadapnya, “Wah, baiknyaa..” kesan ini kuucapkan dalam hati.
“Iya, Ayah…” jawab kami hampir serentak. Oh ya saya lupa, para pengajar dan wali yang akan membimbing kami selama sebulan dipanggil dengan sapaan Ayah atau Bunda. Pria bersahaja yang menyambut kami adalah wali kelas kami, Ayah Muhammad Wakka.
“Nak, ada seprai ranjang di kantin, boleh diambil untuk melapisi ranjang ananda..” wali yang perhatian, saya menyukainya. Singkat cerita, Ayah Muhammad menyuruh kami beristirahat sebentar lalu kemudian bersiap-siap untuk mengikuti sholat Ashar berjamaah di masjid. Kebiasaan baru yang saya lakukan selama dalam kegiatan ini adalah, sholat tepat waktu. Alhamdulillah.
Begini awal ceritanya, kebiasaan di Makassar untuk sholat Ashar itu kalau bukan di penghujung waktu, di tengah-tengah, yaah tidak sholat. Kadang sih tepat waktu juga kalau lagi datang ‘kesadaran diri saya’.
Lanjuut..
Suara panggilan untuk sholat itu terdengar sekitar jam tiga siang. Tak lama kemudian, terdengar adzan berkumandang. Hari pertama, masih terasa berat bagi saya untuk pergi ke masjid terlalu cepat apalagi jarak masjid yang jauh dari kamar saya. Setiba di sana, kami diajari untuk mengikhlaskan diri melaksanakan sholat tahiyyatul masjid dan sholat sunnah sebelum sholat fardhu, jujur saya paling malas melakukan sholat sunnah, jadi masih berasa berat. Setelah sholat fardhu, kegiatan rutin di sana ialah membaca wirid dan berdzikir, ini kegiatan yang paling kusukai. Lalu, mic yang memimpin wirid tadi dialihkan ke ayah lain, ayah itu berdiri dan mengucap salam kemudian memberi beberapa penjelasan…
“Ananda, kebiasaan kita di Padang Lampe setelah baca wirid dan berdzikir adalah membaca hadist Rasulullah SAW. Nah, Ananda, saran ayah, hadist yang dibaacakan kemudian sebaiknya dicatat untuk dipelajari, dipahami dan kemudian diamalkan.setelah baca hadist, lalu dipersilahkan kembali untuk mengikhlaskan diri melaksanakan sholat sunnah setelah sholat fardhu khususnya untuk sholat dhuhur, magrib dan isya saja yang memang miliki sholat sunnah ba’diyah.”
Saya mengambil pulpen dan buku tulis, nah mulai saat itulah saya suka mendengar hadist. Sekarang, hampir setengah halaman pada buku tulis itu dipenuhi oleh hadist. Setelah itu, karena sholat ashar tidak ada sholat ba’diyahnya, kegiatan dilanjutkan dengan tadarrus surah Ar-Rahman. Nah, kebiasaan baru kembali bertambah yaitu tadarrus Al-Qur’an surah Al-Wa’qiah setelah subuh, surah An-Naba setelah dhuhur, surah Ar-Rahman setelah ashar, surah Yasin Fadhilah setelah magrib dan surah Al-Mulk setelah isya. Namun sebelum mengaji, dibuat terlebih dahulu khalaqah-khalaqah atau duduk membentuk lingkaran tiap kelas. Khalaqahnya harus sempurna membentuk lingkaran, ini mengikuti sunnah rasul. Setelah itu kembali ke pondokan untuk menunggu waktu sholat magrib. Waktu yang terbuang cukup banyak, inilah waktu yang digunakan untuk silaturrahim dengan teman sekamar, ngemil dan nongkrong di café-café (nama warung kecil yang banyak tersebar kiosnya di sekitar kamar).
Sayapun mulai mengenal teman sekamar saya hingga saat ini saya mengetik cerita ini, rasanya masih berat meninggalkan mereka. Saya masih ingat, awalnya kami sangat kaku untuk memulai pembicaraan. Tapi saya juga sudah lupa kapan dan bagaimana permulaannya, sekarang kami sangat-sangat-sangat dekat.
Perkenalkan, dari fakultas sastra: Irma, Tiwi, Ayu, Ima, Fitri, dan Enchy. Dari fakultas farmasi: Jumriah, Nurma, Karni, dan Ria kemudian dari sesama fakultas: Wiwin, Ian, Arifah, Indira, Dini, Mawar, dan Ria.
Adzan magribpun berkumandang, para santriwati baru ternasuk saya berlomba-lomba ke masjid untuk mengambil shaf terdepan. Yang berbeda setelah sholat magrib adalah membaca surah Yasin Fadhilah yang sangat panjang bacaannya, memang berat, tapi kami terus belajar untuk ikhlas karena ALLAH SWT.
Setelah itu kami berdzikir, ini adalah saat yang kusukai yang di mana kami berdzikir bersama namun merenungkan masalah masing-masing. Tak jarang air mata dari seorang hina dina sepertiku jatuh ke bumi, kuharap itu dapat menghapus dosa yang kuperbuat. Ibadah sunnah yang dilakukan pada kegiatan Pencerahan Qalbu yaitu sholat sunnah tasbih tiap hari Jumat, sujud tilawah tiap subuh hari jumat, sholat sunnah taubat (dua kali), dan hmmm… yang pastinya shalat sunnah sebelum dan sesudah sholat fardhu tidak boleh ketinggalan. ^^b
Dzikir bersama ini adalah selingan untukmenunggu masuknya waktu sholat Isya. Setelah itu, kami pun sholat Isya dengan berjamaah. Kemudian mendengar hadist, sholat sunnah ba’diyah lalu membaca surah Al-Mulk. Lalu, ayahanda wali tercinta memnaggil kami untuk mengabsen, kemudian membagi tugas piket untuk sarappan pagi, makan siang dan makan malam. Saya dapat tugas piket malam. “Ananda yang bertugas, silahkan ke dapur ambil makanannya.. untuk sementara kita makan di dapur, karena ruang aula yang seharusnya digunakan belum dibersihkan. Ayo ananda..”
Tugas saya di sini adalah mengangkat baki, teman yang lain ada yang mengangkat jumbo air, gelas dan cerek tempat cuci tangan.
Sayapun ke dapur, “Yang mana yang mau diangkat?” tanya saya.
“ituuu..” seseorang yang bertugas di dapur menunjuk ke satu barisan penuh dengan baki dengan satu baki terdiri atas empat porsi.
Kesan awalnya merasa aneh, lucu dan yah tidak apa-apa, buat seru-seruan. Menu favorit yang selalu dan pasti aka nada di Padang Lampe adalah ikan gorang bersama cabe khasnya. Itu menu utama makan siang dan makan malam. Namun, khusus untuk hari-hari tertentu seperti hari minggu atau hari spesial, kami diberi makan ayam goreng atau daging sapi yang dijadikan sup.
Sebelum menyantap tak lupa kami berdoa bersama dengan mengeraskan suara, itu kebiasaan baru. Tujuannya untuk mendapat berkah dari kebersamaan. Menurutku begitu.
Kemudian kami kembali ke kamar untuk istirahat. Tiga hari pertama, jadwal kami dibangunkan oleh ayah dan bunda adalah jam setengah lima, ya itu untuk sholat subuh bersama. Kemudian, setelah lewat tiga hari kamipun dibiasakan untuk bangun pukul tiga tengah malam untuk sholat tahjjud berjamaah. Ini berat bagi saya yang sangat susah bangun tengah malam. Ayah dan bunda membangunkan kami dengan cara mengetuk pintu dengan keras, berteriak dan juga memakai speaker.
Setelah mendengar kami menyahut, “iya ayah, iya bunda.. kami sudah bangun..” seketika juga suara rebut-ribut di depan kamar menghilang.
Kadang juga, ayah/bunda membalas sahutan kami, “bangun tapi masih ditempat tidur? Ayo nanda bergegas, sholat sholat sholaaaaat.” Hhahaha… :’)
Sholat tahajjud yang kami lakukan sebanyak delapan rakaat. Lalu tambah witir tiga rakaat. Kemudian sembari menunggu subuh, kami menghapalkan surah-surah pendek juz tigapuluh. Setelah hafal, kami dapat menyetor hafalan ke wali kami, terkadang ada candaan, lawakan dan tawa saat menghapal. Itulah yang membuat kami dekat dengan wali kami. :’) *Ai jadi rinduuu*
Semua itu saya lakukan selama duapuluh delapan hari ke belakang. Benar-benar masa yang takkan terlupakan. Setelah mendengar adzan subuh, kami dipersilahkan untuk sholat sunnah, juga memperbaharui wudhu’ yang mungkin saja telah batal karena tak jarang kami mengantuk atau bahkan sampai tertidur waktu melaksanakan sholat tahajjud dan saat menunggu adzan subuh. Hehehe…
“Survey membuktikan, dari semua kegiatan ibadah Padang Lampe, bagian yang tersulit adalah bangun untuk sholat lail” Wkwkwk… begitu kata ayah Syamsuddin.
Setelah sholat subuh, kamipun berdzikir kembali sembari menunggu waktu sholat sunnah dhuha, kami berdzikir sama seperti berdzikir saat menunggu masuk sholat isya. Kami merenungkan dosa kami, mengingat pencipta kami, mengingat kelalaian kami. Setelah sholat dhuha, kami pun bergegas untuk sarapan pagi. Saya lupa berapa hari kelas saya makan di dapur dyang kemudian akhirnya pindah ruang makan ke aula. Hmmm, tidak penting juga sih.. hehehe..
Sarapannya adalah telur kocok, nasi, juga makan mie goreng (kadang ada, kadang tidak ada) bersama sambalnya. :D
Oh ya, tiap makan, kami selalu didampingi wali tercinta, saat makan itu jualah kami menjadi lebih akrab dengan beliau.
Setelah makan, kembali ke pondokan untuk mandi (hampir tiap dua hari sekali, waktu mandi saya persingkat karena mencuci baju, belajar mandiri… hehehe) dan bersiap-siap untuk belajar materi kuliah seputar agama Islam yang dalam hal ini Aqidah oleh ayah Syamsuddin, Akhlak oleh bunda Maryam, Syariah oleh ayah Rahim dan Al-Qur’an dan Terjemahannya oleh ayah Bisri.
Kelas saya, kelas 12 tidak kebagian ruang kelas, jadi, kami belajar di pelataran masjid. Itulah juga alasannya kami makan di ruang aula, yaaah karena kami tak punya kelas. Kelas 13 juga senasib dengan kelas 12. Jadi, serasa kelas 12 dan 13 itu hanya terdiri dari satu kelas dengan dua orang wali yang mencintai merekaaa. :D
Oh ya, mengenai wali, tiap tiga hari, wali kami diganti dengan wali baru. Masing-masing kelas punya dua orang wali yang tiap tiga harinya akan bertukar untuk membimbing kami di Padang Lampe, sedang wali yang sudah membimbing kami, kembali ke Makassar dalam tiga hari. Begitu seterusnya. Beruntungnya, kelas 12 memiliki wali-wali kelas yang humoris dan cukup banyak pengagumnya, mereka bernama ayah Muhammad Wakka dan Ahmad Wakka. Mereka memiliki marga yang sama, wajaaaaar… syukurnya, mereka ini bersaudara dan sangat miiiiiriiiip!
Yang mereka pegang itu adalah hadiah dari kami (anak walinya) saat malam terakhir berada di Padang Lampe.. sediiiiiih banget, beraaat ditinggal mereka. :’( Ayah Muhammad Insya Allah sebentar lagi menikah dan ayah Ahmad sudah punya anak, padahal yang kakak tuh ayah Muhammad.. :D
Mereka berdua paling susah buat duduk berdekatan, mereka tidak mau para santriwati jadi heboh karena wajah mereka yang mirip dan terlihat lucu kalau memang berdekatan. :D tapi, khusus untuk anak walinya (sebenarnya kami juga memaksa sih) akhirnya mereka mau duduk bahkan foto berdiri berdampingan. Hihihih…
Oh ya, di Padang Lampe ini jangan bilang kerjaan kami hanya makan, tidur, ibadah, belajar saja. Ada juga lomba Asmaul Husna yang kebetulan shiftnya ayah Ahmad yang adakan lomba itu. Sempat ada cekcok antar banyak kepala di kelas 12, tapi kata ayah Ahmad, “itu wajar nandaa..” dengan wajah tidak berekspresinya. XD
Kami juga dibuat pusing untuk cari ruangan buat latihan, karena seperti yang kukatakan sebelumnya, kami tidak punya kelaaaaaaasss…Wkwkwk.. hingga akhirnya, ayah Ahmad dikawali kami, memajak kelas 8 agar mengizinkan kami latihan di sana, dan akhirnya berhasiiiilll… berkat senyuman maut ayah Ahmad mungkin yah. Hahaha…
Kamipun latihan, atur posisi dan sebagainya didampingi ayah Ahmad. Ayah menyarankan kami melakukan gerakan manja ala girlband chiby (gatau). Nih foto ayah: imuuuut kan? huahuahua
Hari perlombaan tibaaa, kami membawakan lagu Asmaul Husna, Sholawatun Badar dan Padang Lampe (editan lagu kota santri ala sekreativitas kami).
Inilah kami, sebelum lomba…
Hehehe… kelas 12 memang paling heboh walaupun gak dapat juara. Wkwkww… Selain lomba, kami juga biasanya jalan pagi bersama..
Biasanya juga kami gotong royong bersih-bersih sekitar masjid, habis itu foto-foto deh…
Foto-foto bareng ayahdan bunda:
ini nurma dan ayah Yunuuuuss ><
Dari semua ayah dan bunda, saya khususnya kagum kepada ayah Muhammad dan ayah Ahmad selaku wali yang paling baaaaiiikk, ayah Yunus yang paling bisa bikin saya nangisss karena kata-katanya yang daleem, ayah Rahim yang penyayang dan tempat curhat anandanya, bunda Maryam yang cara nagajarnya kadang bikin saya serius kadang juga ngantuk dan wah suaranya bikin merinding, bunda Jo yang kalau ngaji bikin perasaan jadi tenaaang banget, ayah Syamsuddin yang cerdas yang selalu menantang pertanyaannya, ayah Thoha yang lucu dan saya suka cara menjelaskannya, ayah Zain yang bersahaja banget, ayah Uje yang merdu sekali suaranya melantunkan ayat-ayat Allah.. subhanallah.. :DD
• APA KABAR NANDA?
ALHAMDULILLAH, HATIKU, PIKIRANKU, SEMANGATKU, HIDUPKU, MATIKU LILLAHI RABBIL ALAMIN. ALLAHU AKBAR!!!
• BAGAIMANA PADANG LAMPE?
SUBHANALLAH, LUAR BIASA!
Oh ya, terakhir tentang di sana itu kalau lagi bosan, saya suka main sama kucing manja di sekitar masjid atau kalau tidak, saya suka lihat anjing yang sedang malas-malasan. Hehehe.. anjing di sana jinaaaaaaak!
Tweet |
3 comments:
Blognya keren kak.👍
Rindu padlam jadinya😢
Saya juga alumni padlam kelas 12. Hehe sama😊
Saya sekarang sementara pencerahan qalbu di padanglampe kak. Rasanya tak ingin pulang
Alhamdulillah saya baru selesai pesantren kemaren dan walkes saya ayah Ahmad
Post a Comment