Friday, July 22, 2011

#10. Story: Sarkastik itu Tak Baik 2/2

Hai.. ini lanjutan fict story yang kemaren ntu.. hehe.. agak lama di publish. maaf yaahh! enjoyy it!

====

“aku berangkat..” Ai membungkukkan sedikit tubuhnya di hadapan ayahnya yang tengah menikmati sarapan paginya. Sampai detik inipun, ayahnya masih belum mau berbicara mengenai komik-komik Ai.

“Hn..” Ayahnya hanya mengangguk cuek. Tak lama, keheningan kembali menghampiri ruang makan itu.

====

“Ini sapu tanganmu. Arigatou..” Ai mendekati Akai setelah beberapa penghuni kelasnya menghilang karena mendengar bunyi bel tanda istirahat. Akai hanya tersenyum sebentar kemudian mengambil sapu tangan itu dari genggaman Ai. Menyadari saputangan itu telah hilang dari tangannya, Ai segera membungkukkan tubuhnya. “Arigatou..” ia mengulangi perkataannya.

“doita..”Akai menjawab singkat. Ai meluruskan punggungnya dan berbalik badan. Ia pun meninggalkan Akai di kelas.

“payah..” Akai memandangi punggung wanita itu yg semakin menjauh darinya sembari menyunggingkan senyum tipisnya.

====

Suasana perpustakaan yg sangat hening. Masing-masing sedang sibuk berkutat dengan buku-buku di hadapannya. Ada yang saking seriusnya hingga mengernyitkan dahi. Terlihat pula beberapa yang santai dengan headset yang menggantung di telinganya. Ai, adalah salah satu dari siswi yang mengernyitkan dahi itu. Ia tampak serius membaca buku Kimianya.

“Ai!” seseorang berteriak pelan kepada sosok yang tengah tenggelam dalam dunia kimia itu. Tak ada balasan. “Ai!” ia mengulanginya. Masih tak ada balasan. Pria itupun mendekati Ai dan duduk tepat di hadapan Ai. “serius sekali.. haha..” pria ini angkat bicara.

“ka-kau?” Ai terkejut. Pria itu adalah pria kasar yang kemarin merebut paksa ciuman pertamanya. Ai melototi pria yang tengah tersenyum padanya. Seolah tak merasa berdosa pada Ai. Yah, Masao namanya.

“he-heeii. Gomenasai. Kemarin itu, aku benar-benar terpesona olehmu. Maafkan aku.” Pria itu berusaha menarik tangan Ai yang hendak beranjak meninggalkannya.

“lepaskan, bodoh!” Ai memperingatkan pelan tapi tegas pada Masao. Masao yang merasa bulu kuduknya tiba-tiba merinding kemudian dengan segera melepaskan wanita itu. Lalu dipandanginya punggung wanita itu sampai benar-benar menghilang dari perpustakaan.

“menyebalkan. Aku tak benar-benar berniat padamu, wanita batu.” Gumam Masao.

====

“anata wa Masao desuka?” Akai menghampiri Masao yang tengah bergurau bersama sekawanannya.

“sou desu..” Masao menjawab pertanyaan seorang pria yang kemarin dilihatnya bersama Ai sepulang sekolah.

“hmm, jangan cari masalah dengannya.” Akai angkat bicara. Teman-teman Masao merasakan perubahan atmosfir yang tiba-tiba berubah tegang. Mereka berdiri di belakang Masao dan mengamati pria asing yang berbicara kepada kawan mereka.

“dareka?” Masao tak mengerti. “siapa yang kau maksud?” Masao mengangkat satu alisnya, kebingungan.

“Ai-san. Kau tahu apa maksudku.” Akai menjawab dengan tatapan santai.

“nani? Apa urusanmu!” Masao emosi. Ia muak melihat pria sok cool di hadapannya itu. Masao menatapnya geram. Akai hanya tersenyum kecut dan berbalik badan. Ia berjalan meninggalkan segerombolan pria sebayanya itu.

“hei kau!” Masao semakin geram. Ia menarik keras bahu Akai hingga membuat Akai berbalik menghadapnya. “apa urusanmu? Hah!” Masao meneriaki pria itu.

“dia temanku. Kau sudah kuperingatkan. Sudah ya.” Akai tersenyum dan melambaikan tangannya. Ia meninggalkan Masao dan teman-temannya yang menatapnya kesal.

“waah, berani sekali dia. Haha..” salah satu teman Masao yang terkejut mulai memanas-manasi Masao yang wajahnya kini merah karena marah.

“siapa juga yang mau cari masalah dengan Ai?! wanita itu terlalu ge’er. Dia hanya mainanku kemarin sore. Hahaha…” ucap Masao setelah pria itu benar-benar pergi. Teman-temannya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka sudah mengerti watak Masao.

====

“Ai.” Akai menghampiri Ai sepulang sekolah. Ia berjalan di samping Ai dengan menenteng tasnya. Ai hanya menoleh sebentar kemudian kembali menatap lurus ke depan.

“hm?” Ai angkat bicara.

“Dia sudah kuperingatkan. Kau bisa tenang sekarang.”ucap Akai tanpa melihat wajah Ai yang sekarang memberi sinyal ‘tak mengerti’.

“siapa?” Ai mengangkat satu alisnya. Ia berhenti berjalan dan menatapi Akai yang masih terus berjalan. Akai tak menjawab. “hei, siapa?” Ai mengejar Akai. Ia berteriak pelan.

“Masao-san.” Akai menjawab setelah menyadari Ai yang tengah berjalan di sampingnya menunggu jawabannya. Ai mengangguk pelan. “oh ya, mana komik yang ingin kupinjam?” Akai berhenti dan menarik tangan Ai yang masih berjalan. Ai terkejut. Eh?

“Ah! Tunggu.” Ai meraih tas dan mulai merogoh isi-isi tasnya. Lalu tak lama kemudian, ia berhasil mengeluarkan komik yang telah ditunggu Akai itu. “ini!” Ai tersenyum.

“hmm.. besok kukembalikan. Jaa ne!” Akai segera mengambil komik itu dan segera berlari meninggalkan Ai. Ai memperhatikan Akai yang semakin menjauh dan tampak memasuki mobil mewah yang sepertinya sudah menunggu sejak tadi. “hmm, orang kaya juga.” Gumam Ai.

====

Ai tak habis pikir, ada apa dengan ayahnya? Sampai sore ini pun, ayahnya tak mengatakan sesuatu. Permintaan maaf pun enggan keluar dari mulutnya. Agar tak semakin kesal, ia keluar rumah. Menghibur dirinya. Berjalan dengan tatapan kosong. Tak tahu arah tujuannya. Sampai ia sadar menginjakkan kaki di taman tempatnya kemarin menangis di hadapan Akai. Ia duduk dan termenung. Memikirkan Masao yang tak ia duga bisa melakukan hal itu padanya lalu memikirkan Akai yang rupanya orang yang sangat baik baginya. Menyadari dirinya memikirkan Akai, dengan segera ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap semua lamunan itu buyar dan menghilang dari otaknya.

“kau mencariku?” seseorang dengan suara yang begitu dikenali Ai, muncul dari arah belakangnya. DEG! Perasaan wanita batu ini tiba-tiba bergetar. Tak lama, pria yang juga sumber suara itu telah berada di samping Ai. Menggenggam sebuah komik yang baru saja didapatkannya siang tadi. Ada apa denganku?

“EH?” Ai membelalakkan matanya. “yang benar sj..” tambahnya.

“hmm, begitu.” pria itu sedikit kecewa. Lalu melanjutkan bacaannya. Kemudian keheningan menenggelamkan mereka cukup lama. Ai hanya duduk tanpa melakukan apa-apa. Tak seperti Akai yang sibuk berkutat dengan komik Detektif Conannya. Karena bingung ingin melakukan apa, Ai pun berdiri dari tempat duduk itu. Ia berjalan pelan meninggalkan Akai tanpa berkata apapun.

“tidak sopan.” Akai berbicara pelan seolah berbisik. Ia berusaha menyindir sikap Ai yang berniat pergi tanpa pamit atau berkata apa saja padanya.

aku?” Ai berhenti. Ia dapat mendengar perkataan Akai dengan jelas.

“siapa lagi.” Akai mendongakkan kepalanya lalu mengubah posisi duduknya. Ia menutup komik itu dan hanya menggenggamnya. “hmm, ajari aku kimia. Yang tadi itu benar-benar membingungkan. Bagaimana?” Akai memulai percakapan. Ai diam sejenak.

“hmm, besok?” tawar Ai.

“sekarang, di perpustakaan kota.” Belum sempat Ai menyetujui atau tidak, Akai segera beranjak dan menarik lengan Ai meninggalkan jejak kehadiran mereka di taman itu. Ai hanya mendesah pelan.

====

“baiklah, apa kau bawa bukunya?” tanya Ai setelah mereka berada di perpustakaan kota yang kali ini beanr-benar sepi.

“dan, sebentar lagi perpustakaan ini akan ditutup. -,-” Ai bergumam kesal mengecilkan suaranya tapi tetap saja pria cuek di hadapannya ini dapat mendengarnya dengan jelas.

“tentu sj tidak bawa. Hmm, ah yah! aku tahu, kurang lebih 25 menit lagi ditutup.” Jawabnya singkat sembari melirik jam tangannya.

“apa kau bodoh? Jadi kita belajar pakai apa?! Hmm, baguslah kau tahu waktu tutupnya. Ayo segera cari tempat lain.” Ai berdiri dari tempat duduknya.

“kau yang bodoh.” Akai meresponnya dengan santai. Pria itu kemudian berdiri dan mencari-cari sesuatu di rak sana.

“hei!” Ai terkejut. Ia segera berlari-lari kecil mendekati Akai yang asyik mencari sesuatu.

Akhirnya, ia mendapati Akai yang tengah membaca sebuah sampul buku sembari mengernyitkan dahinya. Ai penasaran, ia memutuskan untuk mendekat. Ia melihat tulisan yang terdapat tepat di atas rak di mana Akai berdiri. “KIMIA UNTUK SMA” Ai tersenyum.

“oh, begitu..” batinnya dalam hati. Ai kembali ke tempat duduknya menunggu Akai selesai mencari buku kimia. Tanpa rasa sopan santun, Ai membongkar isi tas Akai. Ia berniat mencari alat tulis yang bisa membantunya untuk mengajari pria aneh itu. “headset, komik, novel, sebuah pulpen dan pensil, dan… majalah? Hmm, pria yang suka membaca.” Batin Ai dalam hati. Terlihat senyum tipis di wajahnya. DEG! Ia segera menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu memasukkan isi tas itu kembali setelah mendapat apa yang dicarinya.

“ini! Aku bingung tentang ini.” Akai tiba-tiba datang dan duduk di hadapan Ai. Ai terkejut dan segera mungkin bersikap seperti biasanya. Ia mengambil buku yang Akai perlihatkan padanya.

“oh.. mengenai perubahan entalpi. Baiklah.” Ai mengambil pulpen telah ia dapatkan tadi di tas Akai dan mulai menjelaskannya. “jadi begini,…”

Ng?” Akai menghentikan penjelasan Ai. Ia memperhatikan pulpen yang sedang berada di tangan Ai. Kemudian meraihnya. Ai sedikit menolak tapi Akai lebih kuat darinya. Pulpen itu berhasil jatuh di tangan Akai. “dari mana kau..?” Akai melirik tasnya. Lalu memandangi Ai yang berusaha tak memancarkan raut wajah ketakutan.

“aku mengambilnya tadi. Ada masalah?” Ai menaikkan alisnya. Raut wajahnya sama sekali merasa tak melakukan kesalahan, bahkan seolah menantang pria di hadapannya ini. Akai tersenyum kecut.

“baiklah. Lanjutkan penjelasanmu..” Akai kembali memfokuskan dirinya kepada buku kimia di hadapan mereka. Ai menghela nafas lega.

====

Mereka masih saja menikmati pembelajaran itu tanpa sadar waktu tak menunggu mereka. Sang penjaga perpustakaan pun tak menyadari terdapat sepasang remaja yang sedang bergulat dengan kimia di belakang sana.

BLAM! Cklek!

“hari yang dingin.. harus segera pulang dan berendam.. huhuyy..” sang penjaga perpustakaan itu pun pulang meninggalkan tempat itu dengan tenang.

====

“ohh, hmm.. begitu rupanya. Sejak tadi aku memikirkannya.” Akai mengangguk-angguk tanda mengerti. Senyumnya mengambang bebas di udara. “hmm, baiklah, ayo pulang. Ini sudah…” Akai berhenti sebentar. Ia melirik jam tangannya. Tak lama kemudian matanya terbelalak. “EH!” Akai berdiri dari tempat duduknya dan berlari ke depan secepat mungkin.

“bodoh! -_-” Ai hanya mendengus kesal sambil mengamati pria itu berlari meninggalkannya.

Akai mendapati pintu perpustakaan yang telah terkunci rapat. Ia mendesah keras. Lalu kembali berlari menuju Ai. Ia memasang tampang menyesal.

“sepertinya kita harus menginap ya?” Ucap Ai dengan nada tenang dan santai. Akai menaikkan alisnya tak percaya.

“Apa kau sudah menyadari ini?! Kenapa tak memperingatkanku saat tengah belajar tadi? Arrrggghh… Baka!” Akai membentak Ai. Ia mengacak-acak rambutnya, berantakan. Kemudian mendengus kesal.

“Aku sudah memperingatkan dari awal. Kau yang bodoh! Huh..” Ai berjalan membelakangi Akai. Ia mencari tempat yang nyaman untuknya sebagai tempatnya tidur jika mereka benar-benar harus menginap.

Akai merogoh saku celananya, mengambil ponselnya dan tampak menekan beberapa angka di sana. Ia menunggu dengan tidak sabar jawaban panggilan dari seseorang yang ditelponnya.

“moshi-moshi.. nan de, Akai-kun?” suara berat itu terdengar dari sana. Akai segera bernafas lega.

“Yoshiro, segera ke perpustakaan kota. Jemput aku!” Akai berbicara dengan cepat. Ia tampak panik sekali.

“ada apa?” Pria yang disebut Yoshiro itupun menjawab. “Eh? Ba-Baik-baiklah!” Yoshiro kembali menjawab setelah mendengar penjelasan Akai dari sana. Yoshiro segera naik ke mobilnya dan meninggalkan tempatnya dengan kecepatan tinggi.

“dou?” Ai angkat bicara. Kini mereka duduk berhadapan seperti orang bodoh. Suasana kota Tokyo juga semakin gelap, sudah hampir malam. Itu berarti sebentar lagi, lampu perpustakaan itu akan mati total secara otomatis. Mereka akan dibutakan dalam kegelapan malam yang panjang.

“Ia segera kemari. Tenang saja.” Akai menggosok-gosok kedua tangannya. Cuaca memang semakin dingin jika sudah hampir malam seperti sekarang ini.

“haha, aku begitu tenang.” ucap Ai meremehkan. Akai menatapnya kesal. DEG! Mata mereka bertemu. Ai segera mengalihkan pandangannya.

“kriiing.. kriing.. kriingg..” ponsel Akai berdering kencang. *hape JADUL, wkwkw..* mereka sontak terkejut. Akai segera menjawab telponnya.

“moshi-moshi.. Yoshiro! Kau sudah sampai?” ucap Akai. Suaranya naik dua oktaf.

“HAI! Tapi, pintunya terkunci. Apa yang harus kulakukan? Mustahil untuk mendobraknya.” Yoshiro berdiri di depan perpustakaan dan tampak kebingungan. Ia mencari-cari sesuatu yang tertempel di dinding perpustakaan. Ya, ia mencari-cari nama atau sekadar nomor telepon pemilik tempat itu. “nihil.. tak ada yang bisa dihubungi..” tambahnya.

“APA? Kalau begitu, bertanyalah pada orang-orang yang berada di dekat sini, siapa tahu mereka mengenal pemilik perpustakaan ini. Cepatt!” suara Akai panik.

KLIK!

Gelap. Akai membelalakkan matanya. Ia semakin panik. Ai mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia melihat sekeliling. Lalu meraih ponselnya bermaksud memberi sedikit penerangan di sana.

“ba-baiklah! Tapi, Akai-kun, kulihat lampu perpustakaan sudah mati. Apa kau baik-baik saja?” Yoshiro ikut panik.

”Lakukan saja cepat perintahku atau kau kupecat!” suara Akai kini semakin keras. Akai mematikan ponselnya dengan kasar. Ai terkejut dan tiba-tiba wajah ayahnya yang sedang membentaknya terbayang di pikirannya. Hal itu membuatnya ketakutan.

Akai menerangi dan mencari-cari Ai dengan ponselnya. Ia mendapati Ai yang sedang menunduk menatap lantai dengan tatapan kosong dan ketakutan. Kedua tangan Ai terkepal keras dan tubuhnya bergetar. Akai mendekat.

“ka-kau, tidak apa-apa?” Akai berbicara pelan. Ia meluruskan lengannya berniat memegang pundak Ai.

“menjauh.” Suara Ai bergetar. Akai bukannya menjauh malah semakin mendekat. “KUBILANG MENJAUH!” Akai terkejut. Ia berhenti, menarik kembali lengannya dan menatap Ai nanar.

“nande? Apa kau ketakutan?” Akai angkat bicara. Ai tak menjawab.

“krinng… kriing.. kringgg..” ponsel Akai kembali berdering. “doudesuka?” Akai menjawab.

“gomenasai, orang-orang di sekitar sini memang mengenalnya tapi tak tahu alamat rumah serta nomor telepon pemlik perpustakaan ini. Apa lagi yang harus kulakukan?” jelas Yoshiro.

“begitu ya. hmm.. pulanglah.” Suara Akai melemah. Ia tak panik seperti tadi. Ia tahu semua itu membuang tenaga saja.

“EH?” Yoshiro terkejut. “benarkah?” Yoshiro bertanya kembali. Ia berusaha meyakinkan dirinya tak salah dengar.

“pulanglah..” Akai mengulangi ucapannya.

“baiklah! Besok aku akan kembali sepagi mungkin untuk menjemputmu..” ucap Yoshiro dengan nada cemas.

“tuutt..tuutt..tuuutt..” Akai segera mematikan ponselnya. Kemudian tubuhnya roboh begitu lemas di hadapan Ai yang masih menunduk.

“gomen.. gomen Ai.” suara Akai kacau. Suaranya melemah. Ia berusaha berdiri dan meraih kedua tangan Ai. Kali ini, ia memberanikan diri untuk melakukannya. Ai merasakan tangannya digenggam Akai, seolah memberi kekuatan padanya. Ia memejamkan matanya. Tidak menolak.

“gomenasai..” Akai segera melepas genggamannya dan membungkukkan tubuhnya. Ia merasa bersalah telah membuat Ai terkurung bersamanya di tempat gelap dan dingin ini. Padahal salah, Ai ketakutan seperti itu bukan karena terkurung di sini, melainkan ketakutan karena sikap Akai yang kasar pada seseorang di telepon tadi. Bayangan ayahnya terus saja melintasi pikirannya tiap kali mendengar bentakan-bentakan di telinganya.

Ai menarik nafas dan kemudian membuangnya pelan. Lalu mendongakkan kepalanya menatap Akai yang hanya diterangi oleh cahaya ponsel dari keduanya. “Lain kali, kau jangan membentak kasar seperti itu.” pinta Ai.

“Eh?” Akai menaikkan alisnya.

“aku selalu takut mendengar bentakan sekasar itu.” jawab Ai kembali. Ai lalu berdiri, berbalik badan dan meninggalkan Akai. Ia mencari tempat yang pas untuk tidur. Sementara Akai hanya diam termenung. Ia merasa semakin bersalah.

“baiklah! aku dapat tempat yang pas. Aku tidur di sini. Bagaimana denganmu?” Ai berbalik menghadap Akai yang kini jarak mereka agak jauh. Akai segera mengubah raut wajah merasa bersalahnya. Ia mendekati Ai.

“di mana?” tanya Akai. “di mana tempat yang pas itu?” tambahnya. Ai segera berbalik badan dan menunjuk tempat duduk panjang yang pas untuk ukuran tubuhnya. Lalu berbalik badan kembali menghadap Akai.

Buukk..

Akai menyambar tubuh Ai. Ia memeluk tubuh Ai yang baru saja berbalik menghadapnya. Ai sontak terkejut. DEG!

“maaf. Aku membuatmu ketakutan. Bodoh sekali. Kau jangan ketakutan seperti itu lagi.” Akai berbicara dalam pelukan itu. Akai mengusap-usap punggung dan kepala Ai, ia berusaha membuat tenang wanita batu itu. Ai tak menjawab. Tak lama kemudian, Akai melepaskan pelukannya dan tersenyum pada Ai.

“hmm.. iya..” Ai hanya menjawab singkat. “baiklah! aku mau tidur dulu. Carilah tempat yg pas untukmu. Kulihat di sebelah sana juga ada tempat duduk yang panjang.” Ai mengalihkan pembicaraan. Ia menunjukkan tempat yang dimaksudnya yang berada agak jauh di belakang Akai.

“ah, baiklah! Oyasuminasai.” Akai berbalik badan dan menuju tempat yang ditunjukkan Ai. Ai hanya mengangguk pelan. Lalu segera merebahkan tubuhnya di tempat duduk itu. Ia mematikan cahaya ponselnya. Akai menyadari cahaya yang semakin berkurang lalu berbalik sebentar. Ia hanya mendapati pandangan yang sudah gelap gulita di tempat duduk Ai. Ia tersenyum tipis lalu melanjutkan langkahnya.

====

“hoooaamm..” Ai menguap selebar-lebarnya. Ia tampak tidur nyenyak kemarin malam. Ai menggosok kedua matanya dan membuka matanya pelan. “EH?” ia terkejut dan segera memperbaiki posisinya. Rupanya Akai sedang memperhatikannya. “Sejak kapan ia memperhatikanku?”batin Ai dalam hati.

“ohayouu..” Akai menyambutnya dengan senyuman kecil. “apa kau tidur nyenyak? Hmm, sepertinya begitu.” Sindir Akai.

“begitulah. Sejak kapan kau berdiri di situ?” Ai menjawab dengan malas.

“baru beberapa menit yang lalu.” jawab Akai. “baiklah, kuantar kau pulang.” Tawar Akai.

“eh? Apa pintunya sudah terbuka?” mata Ai melebar. Akai hanya tersenyum lalu berbalik badan. Ia berjalan menuju pintu depan. Ai segera menyusulnya.

“Tuan..” beberapa bawahan Akai yang telah menunggu Akai, membungkukkan tubuh mereka dengan hormat pada tuannya. Ai menatap tidak percaya pada sosok pria yang berjalan di depannya. Akai menunduk sekilas bermaksud membalas sapaan bawahannya. Ai melihat sekeliling, didapatinya sang penjaga perpustakaan yang tersenyum dan membungkuk sebentar padanya.

Seperti tuan putri dan pangeran, bawahan Akai segera membukakan pintu mobil yang telah menunggu mereka. Bawahan itu sangatlah sopan. Ai menjadi canggung. Akai masih saja tak berbicara apapun padanya.

Ai mencubit pelan lengan tangannya saat berada di dalam mobil mewah Akai dan duduk di samping Akira. “apa aku mimpi?” batin Ai dalam hati. “aw.. sakit juga.” dengusnya pelan.

apa kau terkejut?” Akai terlihat menyunggingkan senyum tipisnya. Ai meresponnya diam.

di mana rumahmu?” tanya Akai. Ia berbicara tanpa melihat ke orang yang ditanyainya. Ai tak menjawab. Ia masih sibuk dengan kebingungannya. Kini Akai menatap wanita itu. “hmm?” gumam Akai.

“ah, ya! di dekat taman kemarin. Kau akan mudah mendapatkannya.” Jawab Ai. Ia merasa sedikit canggung.

“hmm.. kau dengar kan, Yoshiro? Bawa kami ke sana.” Perintah Akai.

Ai membuka mulutnya masih tak percaya. Temannya ini benar-benar orang kaya. “jadi ini, pria malang yang terus dibentak oleh Akai kemarin..” batin Ai dalam hati sembari menatap pria yang sedang mengendarai mobil itu dengan tatapan kasihan.

gomen.” Ai tak sengaja melontarkan kalimat itu. Ia masih menatap Yoshiro pilu.

“eh?” Akai terkejut. “kau bicara dengan siapa?” tanya Akai.

“pada orang yang kau teriaki semalaman kemarin.” Jawab Ai tenang. Yoshiro yang merasa bahwa dirinyalah yang dimaksud segera tertawa kecil. Akai menatap Ai tanpa kedip.

“ah-ahaha.. tidak apa-apa. Bukan masalah besar. Aku bisa mengerti perasaan tuan muda.” Yoshiro terkekeh pelan.

“mana boleh begitu.” ucap Ai. “dia sangat kasar kemarin. Aku sampai ketakutan.” Tambahnya.

“A-Ai.. aku sudah minta maaf kemarin.” Akai membela diri.

“tapi belum padanya, kan?” kini Ai menatap Akai dengan menaikkan satu alisnya. “kau pangeran yang jahat.” Gumam Ai pelan.

pangeran? Apa kau bercanda?” Akai terkejut mendengar perkataan Ai. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke depan menatap Yoshiro. “Yoshiro, maafkan aku yang kemarin!” Akai menunduk pelan, sedikit gengsi. Yoshiro membalasnya dengan senyuman.

“sudah sampai! Di sana!” Ai segera menghentikan mobil itu setelah menyadari rumahnya telah dekat. Ia keluar tanpa dibukakan pintu oleh bawahan-bawahan Akai tadi yang kini sedang berada di mobil lain.

“apa sempat jika ke sekolah?” tanya Akai pada Ai yang sedang berdiri di samping mobilnya.

“sempatkan saja. Selamat tinggal.” Ai membungkukkan tubuhnya. Akai membalasnya dengan desahan kesal lalu menutup kaca mobil dan menghilang dari hadapan Ai.

====

“Aku pulang!” Ai berteriak setelah membuka pintu rumahnya. Ia melepaskan sepatunya dan bergegas masuk ke kamarnya. Ia ingin menyempatkan diri masuk sekolah, meskipun ia tahu pasti akan terlambat.

Setelah mandi dan bersiap-siap, wanita ini segera menuju ruang makan. Ia mendapati ayahnya yang tampak kelelahan.

“ayah..” ucap Ai. Pria paruh baya itu segera mengubah raut wajahnya dan melihat wajah putrinya.

“kau tak pulang semalaman. Apa kau mau mati?” pria itu berteriak pelan pada Ai. Ai segera duduk di hadapan ayahnya dan menyantap rotinya.

“gomenasai. Kemarin aku terjebak di perpustakaan. Memang konyol dan sulit dipercaya. Tapi itulah yang terjadi. Jika ayah sulit percaya, aku tak peduli. Aku sudah mengatakannya.” Jelas Ai.

“hmm, baiklah. Aku percaya.” Jawab ayahnya tenang. Ai terkejut, ia menatap ayahnya dengan tatapan heran.

“oh ya, ayah minta maaf mengenai komik. Kau tak mengajak ayah bicara beberapa hari ini. Dan tiba-tiba tadi berbicara panjang lebar. Ayah senang.” Tambah pria paruh baya itu. Seperti ragu mengucapkannya. Ai masih tak menjawab. Ia menatap ayahnya tak percaya.

“ada apa? Kenapa melihatku seperti itu?” ayah Ai menatap balik putrinya. Mata mereka kini bertemu pandang. “a-ayo ke sekolah! Kau sudah terlambat!” ucap Ayah Ai sembari melambai-lambaikan tangannya, dengan maksud agar Ai segera meninggalkan dirinya.

Ai segera berdiri dan berjalan cepat menuju ayahnya. Ia memeluk ayahnya dari belakang. “aku memaafkanmu, ayah.” Ai tersenyum dan mencium pipi ayahnya. Ini pertama kalinya ia berbuat sehangat itu pada ayahnya. Masalahnya terasa hilang dalam pikirannya.

“aku pergi!” Ai melambai-lambaikan tangannya. Ayahnya hanya tersenyum padanya.

====

“kalian terlambat! Lebih baik pulang saja.” Perintah guru Kobayashi. Hari ini pelajaran matematika. Mereka sama-sama terlambat. Meskipun Akai lebih dulu tiba di sekolah.

“sensei.. aku mohon.” Pinta Ai dibantu wajah memohon Akai.

BLAM! Pintu kelas ditutup kasar oleh Kobayashi Sensei.

“hmm.. baiklah.” Akai berbalik badan dan berjalan meninggalkan Ai. Ia begitu mudah menyerah.

“hmmm... bagaimana kalau belajar sendiri saja?” Ai berlari pelan menyusul Akai. Akai berhenti dengan cepat. Ia menatap Ai yang tengah tersenyum padanya.

“ide bagus.” respon Akai. “ayo!” lagi-lagi Akai menarik lengan Ai. Tetapi, kali ini menuju perpustakaan sekolah.

====

Mereka tampak sibuk dengan soal-soal matematika di hadapan mereka. Meskipun seringkali Ai mendesah pelan, dan Akai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mereka dalam kesulitan menjawab soal yang bahkan materinya belum dijelaskan oleh Kobayashi sensei.

“hufft.. aku pulang saja!” Akai bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih tasnya dan berjalan meninggalkan Ai. Ai melebarkan matanya.

“eh? Tu-tunggu!” Ai segera memasukkan buku-bukunya dan menyusul pria itu keluar perpustakaan.

“soalnya rumit.” Ucap Akai. Mereka kini jalan bersama di koridor sekolah.

“hmm.. benar.” Jawab Ai. “jadi, kau mau pulang?” tanya Ai. Ai menoleh ke pria yang berada di sampingnya.

“hai!” pria itu mengangguk tegas. “kau?” tanyanya.

“tidak.” Jawab Ai singkat.

“lalu?” tanya Akai kembali.

“aku ingin berjalan-jalan sebentar.”

“oh..” respon Akai singkat.

“baiklah.. selamat tinggal!” Ai melambaikan tangannya pada Akai lalu semakin mempercepat langkahnya meninggalkan pria itu.

====

Buukk..

Ai menabrak seseorang. Ia terlalu cepat berjalan hingga bertubrukan dengan seorang pria yang baru saja keluar dari toilet pria. Ai segera membungkukkan tubuhnya meminta maaf.

“Ai?” ucap pria itu. “lho, kenapa kau memakai tas? Apa kau tidak sedang belajar di kelas?” tanyanya.

“Masao-kun. Kupikir, pertanyaanmu itu sangat bodoh.” Ketus Ai. Ia bergegas meninggalkan Masao. Masao kesal diperlakukan seperti itu. Ia menarik lengan Ai dengan kasar.

“kau benar-benar menyebalkan ya.” desis Masao. “tch! Jangan bersikap angkuh padaku!” kini Masao geram. Ia menarik tubuh Ai hingga jatuh dalam dekapannya.

“mau apa kau?” Ai menatapnya dengan tatapan membunuh. Sangat tajam. “le-lepaskan, bodoh!” kini Ai memaksa lepas.

Masao mendorong tubuh Ai hingga menyandar ke dinding. Masao menempelkan kedua tangannya ke dinding tepat di sisi kiri-sisi kanan Ai. Ai menggigit bibir bawahnya, ketakutan.

“kau laki-laki berbahaya.” Ketus Ai. Ia berusaha menghindar namun tubuhnya yang kecil tak sanggup melepaskan diri.

“baru tahu ya?” Masao memegang dagu Ai. Ia berusaha mengangkat wajah Ai agar mendekat ke wajahnya. Tiba-tiba…

Seseorang menarik bahu Masao dari belakang. Kemudian dengan cepat ia menghajar wajah Masao. Lalu melayangkan pukulannya ke perut Masao. Bertubi-tubi ia melakukannya. Masao kini benar-benar tak bisa melawan. Ai bukannya ketakutan malah memperhatikan dengan seksama perkelahian yang sedang terjadi di hadapannya. Seseorang itu dengan segera menarik lengan Ai menjauh pergi saat Masao lengah. Masao hanya menatap punggung kedua orang itu sambil meringis kesakitan. “siapa orang itu?!” batin Masao kesal.

====

“Naiklah!” Akai segera membukakan pintu mobilnya untuk Ai. Ai hanya menatapnya sebentar kemudian patuh.

“kau mau ke mana?” tanya Akai sesaat mereka telah menjauh dari sekolah.

“Aku ingin jalan-jalan. Bukan naik mobil.” Protes Ai.

“apa?” heran Akai. “Yoshiro, berhenti.”

Ckiiitt…

“turunlah!” perintah Akai. Ai segera membuka pintu dan keluar dari mobil Akai.

“tu-tunggu! Apa boleh kau menemaniku?” ucap Ai setengah ragu.

====

“mengenai yang tadi, aku berterimakasih.” Ai angkat bicara setelah keheningan yang terjadi diantara mereka sejak tadi. Saat ini mereka tengah jalan bersama entah ke mana tujuannya.

“hmm, Masao itu berbahaya ya.” Ucap Akai tanpa melihat wajah Ai. masing-masing dari mereka hanya menatap lurus ke depan.

“aku tahu.” Jawab Ai singkat. Akai berhenti dan dengan sigap menahan lengan Ai.

“kau tahu?” Akai mengernyitkan dahi kini ia menatap Ai. Ai mengangguk. “tapi kenapa tetap saja cari masalah dengannya?” Akai mendesis kesal.

“Ini memang salahku. Tadi tak sengaja aku menabraknya.” Ai mendesah. Ia menyesal.

“baiklah. Jangan ulangi!” perintah Akai. Kini ia melepaskan genggamannya dari lengan Ai.

“tanpa kau suruh juga pasti kulakukan. Dasar bodoh!” ketus Ai.

“hei! Kau menyebutku bodoh? Setelah aku menyelamatkanmu dan melindungimu?” Kesal Akai.

“aku sudah berterima kasih, wakatta?” Ucap Ai tak merasa bersalah. Ia mempercepat langkahnya meninggalkan Akai. Akai hanya memandangi punggung Ai yang semakin menjauh. Ia menyunggingkan senyumnya.

“bodoh!” batin Akai dalam hati.

Akai menyusul Ai dengan cepat. Lalu memeluk wanita menyebalkan itu dari belakang. Mata Ai terbelalak. DEG! “dia kenapa?” batin Ai dalam hati.

“EH? Apa yang kau lakukan?!!” protes Ai. Ia memaksa melepaskan diri dari pelukan itu. Kedua tangan Akai kini melingkar di lehernya dengan erat.

“aku mengkhawatirkanmu, bodoh.” Ucap Akai dalam pelukannya. Ai semakin terkejut. Debaran kencang itu terasa lagi.

“apa kau mau mati?!!” gertak Ai.

Akai melepaskan pelukan sepihak itu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari tersenyum geli. Ai tak berbalik badan. Ia masih membelakangi Akai. Karena kesal, Akai pun berjalan di depan Ai. Ia menghadap ke Ai yang sedang mematung.

“kau tidak sopan.” Ai berusaha bersikap biasa. Memperbaiki kerah bajunya yang sedikit berantakan karena tingkah Akai barusan.

“benarkah?” Akai mengangkat satu alisnya.

“dasar! Sana menyingkir.” Ai menggeser tubuh Akai agar diberi jalan. Akai menolak dengan keras.

“Kasar sekali!” protes Akira.

“memangnya kenapa?” Ai membulatkan matanya. Ia menantang Akai.

Akai meresponnya dengan tenang. Ia tersenyum tipis. Kedua tangannya meraih pipi Ai dengan lembut. Jarak wajah mereka kini hanya beberapa senti saja. Ai mampu merasakan deru nafas Akai yang memburu di kulit wajahnya. Ai memanas, pipinya memancarkan rona merah.

CHUP~

DEG! Akai mencium sekilas pipi Ai. Agak ke bawah sehingga mengenai sudut bibir Ai. Kini mata Ai benar-benar terbelalak. Serasa ingin keluar dari tempatnya.

“aku sangat menyukaimu, Ai.” ucap Akai yang berusaha bersikap tenang. Kemudian Akai berbalik badan dan berjalan cepat meninggalkan Ai yang masih membeku. Wajah Ai tanpa ekspresi. Benar-benar wanita batu. Ai memandangi punggung pria yang baru saja menciumnya itu dengan tatapan sedikit kesal dan… senang?

“HEI!” teriak Ai pada Akai. Ai berlari menyusul pria itu. Sedangkan pria yang diteriaki ini hanya berjalan dengan tenang, pikirannya melayang entah ke mana. Sesimpul senyuman tipis terlukis di wajahnya. “aku menciumnya?” gumam pria itu tak percaya.

berhenti kau!” Ai merentangkan kedua tangannya di hadapan Akai hingga mampu menahan langkah Akai. Akai terkejut dan tersenyum kembali.

“benar-benar tidak sopan!!!” teriak Ai sembari memejamkan matanya saking kesalnya.

“eh?” senyuman Akai memudar. “hmm, apa itu jawabanmu?” Akai menyunggingkan senyum kecutnya.

“apa?” tanya Ai. Wanita ini tak mengerti.

“Tenang saja. Aku takkan memaksa seperti Masao. sudah yah!” Akai melambaikan tangan dan menggeser pelan tubuh Ai agar mempermudah jalannya. Ai semakin bingung. Apa yang telah kulakukan? Apa maksudnya?

Ai segera berbalik dan memandangi pria itu. Wanita batu ini diam sejenak. Lalu meneriaki pria itu, “watashi mo (aku juga).” Teriak Ai. Akai masih berjalan. Seolah memaksanya mengulangi perkataannya.

“watashi mo, Akai-kun! Suki da! (aku juga, Akai! Aku menyukaimu!).” Kini Akai berhenti. Ia berbalik badan, diam sebentar lalu berjalan cepat mendekati wanita yang baru saja menjawab pernyataan cintanya.

kau tidak bercanda kan?” Akai menaikkan alisnya tak percaya. Ai hanya tersenyum padanya.

“sepertinya begitu.” Jawab Ai sedikit malu.

“baiklah, ayo kita jalan-jalan!” Akai kembali ke samping Ai. Ia menarik leher Ai mendekat lalu merangkulnya. Akai terkekeh melihat dengusan kesal Ai atas tingkahnya barusan. Tak lama bayangan mereka telah menghilang dari sana.

====

Fict end.. :) leave a comment! :D

2 comments:

black_aoi said...

bagus bagus.. :)

Unknown said...

Alhamdulillah, makasih.. Hm, km udh baca yg part 1nya?