Wednesday, June 22, 2011

#10. Story: Sarkastik itu Tak Baik 1/2

Hai..Hmm… Ai buat fict story lagi nih. Tokohnya saya pakai nama saya sendiri. Hehehe… belakangan saya jadi pengen terus-terusan ngarang. Padahal kepala saya sering sakit-sakitan kalau di depan kompi lama-lama. *malah curhat* XD

Oke deh… enjoy aja yah. Kalau berkenan, tinggalkan komentar yah, untuk memperbaiki apa yang kurang. Hohoh… well, let’s read it!

====

“Ai….bangunlah! Sudah pukul berapa ini, hah?” suara berat dari seberang pintu kamar gadis remaja SMA sarkastik satu ini seolah memberi ledakan dalam mimpinya yang tak sempat ia lanjutkan. Ai, seorang gadis dingin yang cukup dikenal di sekolahnya karena memiliki hati seperti batu. Ai terbangun dari tidurnya karena suara alarm dari ayahnya. Mereka hanya tinggal berdua setelah ibunya berpisah dengan ayahnya karena lebih memilih pria yang lebih kaya dari ayahnya. Semenjak itu pula, Ai semakin terpuruk dan memilih diam dalam segala hal yang tak perlu.

Setelah bersiap-siap, ia menuju ruang makan. Ia mendapati ayahnya yang tengah membaca koran pagi itu. Ai duduk dihadapan ayahnya dan meraih roti yang telah tersedia.

“aku berangkat.” Ucap Ai setelah selesai menyantap sarapannya.

“hm..” ayahnya hanya meresponnya singkat. Bahkan tak ditatapnya wajah putrinya itu. Ai yang seolah telah terbiasa atas tingkah laku ayahnya itu melangkah pergi dengan diam.

=====

“ohayouuu.. Ai-san..” sapa Yuki, satu-satunya teman Ai. Ia tersenyum pada Ai dan berekspresi riang. Ai hanya menatapnya lalu mengacuhkannya. Ai berbalik pergi menuju kelasnya.

“eh tunggu!” Yuki yang ditinggal Ai segera berlari mengejarnya. Kini, Yuki telah berdiri tepat disamping Ai. Mereka jalan bersama menuju kelas. “eh, Ai-san, sudahkah kau mengerjakan tugas matematika? Huwaa.. sulit sekali. Boleh kulihat punyamu?” di sela-sela keheningan yang terjadi, Yuki angkat bicara.

“kerjakan sendiri.” Ai menjawab datar tanpa melihat wajah Yuki. Pandangannya hanya lurus ke depan. Penuh tatapan kosong.

“eeh? Pelit sekali..” protes Yuki. Seketika Ai melihatnya. Ai menatapnya dengan tatapan dingin. Seraya ingin memangsa apa yang ada dihadapannya.

“lalu?” Ai membalas dan masih menatap Yuki dengan tajam.

Yuki yang merasakan ketakutan itu dengan segera mencairkan suasana, “a-ah.. baiklah. Ti-tidak apa-apa.” Yuki membungkukkan tubuhnya sedikit lalu mendahului Ai dengan cepat. Ai tetap tak berekspresi dan melanjutkan langkahnya menuju kelas.

====

“minna-san, ada murid baru. Pindahan dari SMA swasta Kyoto. Kuharap kalian bisa berteman baik dengannya. Silahkan masuk.” Wali kelas Ai dan Yuki yang sekaligus guru matematika mereka memperkenalkan anak baru tersebut.

Tampak penghuni kelas dengan memancarkan raut penasaran. Seketika dipersilahkan masuk, murid baru tersebut dengan santai masuk ke kelasnya dengan tas sekolah yang dibawanya. Wali kelas mereka, Kobayashi sensei menuliskan nama anak baru tersebut di papan tulis. Penghuni kelas tersebut berubah ekspresi tegang. Didapatinya sosok pria tampan bertubuh tinggi dan berambut pendek serta memakai kacamata. Cara berjalannya yang sedikit angkuh dengan salah satu tangannya dimasukkan ke dalam sakunya dan satu tangannya lagi tengah menenteng tas sekolahnya.


“hajimemashite, watashi wa Akai Jinpei desu.” Pria ini membungkukkan tubuhnya dengan sopan namun tanpa ekspresi. “douzo yoroshiku onegaishimasu.” Tambahnya. Pria itu dipersilahkan duduk di bangku kosong yang berada di baris paling belakang dekat jendela. Pria itu menurut dan berjalan menuju tempat yang ditunjukkan oleh Kobayashi sensei.

Sedari perkenalan tadi hanya satu orang murid yang tak melihat pria itu. Ia tampak asik dengan soal matematikanya. Ia bahkan mungkin tak tahu bahwa baru saja kelasnya kedatangan murid baru. Ya, dia adalah Ai. Gadis satu ini duduk agak berjauhan dengan si murid baru, Akai.

======

“baiklah.. silahkan istirahat.” Kobayashi sensei mengakhiri pelajarannya setelah mendengar bunyi bel tanda istirahat. Seketika murid-murid menyambutnya dengan riang. Satu persatu dari mereka mulai menghilang dari kelas itu. Ai yang tak suka keramaian kini bernapas lega setelah teman-temannya meninggalkan keheningan di kelas tersebut.

“Akai-san, kau pindahan dari mana?” suara cempreng Yuki terdengar di belakang Ai. Ai menoleh ke belakang dan dilihatnya Yuki tengah duduk di samping pria yang asing baginya. Raut wajah Ai sedikit heran, lalu berbalik kembali.

“bukankah telah diumumkan tadi oleh Kobayashi sensei?” pria itu menjawab dengan datar. Yuki terkejut.

Perkataan dingin pria itu membuat Yuki ketakutan. Yuki langsung menjauh dari Akai dan berjalan menuju Ai. Ai memutuskan untuk menghabiskan waktu istirahat dengan membaca komik Detektif Conan yang dibawanya. Ai meraih komik yang dibawanya di tas dan dengan cepat ia membuka lembaran-lembaran komik tersebut. Tampaknya Ai sedang sibuk mencari lipatan yang telah ia beri pada komik itu. Lipatan yang ia beri saat menunda bacaannya. Namun, suara cempreng Yuki yang semakin mendekat ke arahnya menghentakkan kesibukannya.

“Ai-san, ayoo.. makan siang.” Sapa Yuki riang. Ia tak menyadari raut wajah kesal Ai karena telah dikagetkan oleh suaranya. Yuki menghampiri Ai dengan ramah namun dibalas dingin oleh Ai.

“tidak.” Ai menjawab. Kini lipatan itu berhasil ia dapatkan. Lalu Ai mulai membacanya. Ia tak menghiraukan Yuki yang menatapnya kesal. Yuki merasa makan hati berteman dengan Ai.

=====

Ai mengira tak ada lagi orang di kelasnya setelah Yuki pergi. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke belakang. Ia ingin rebahan di bangku belakang yang biasanya kosong sambil membaca komik. Itu adalah kebiasaannya. Namun, ia terkejut saat melihat pria asing tadi masih berada di sana, tempat Ai biasa rebahan. Ai menatap pria itu dengan tatapan kesal. Pria itu merasa diawasi dan berbalik menatap Ai lalu menatap apa yang digenggam Ai, komik favoritnya. Mereka bertatapan sekilas lalu pria itu memalingkan pandangannya lebih dulu. Pria itu sedang asik menikmati angin musim dingin yang masuk melalui jendela yang dekat dengan tempat duduknya. Ia tampak menyandarkan kepalanya seolah menenangkan dirinya dengan kedua mata yang dipejamkan dan terdapat headset yang menggantung dari kedua telinganya.

“minggir.” Ai membuka suara. Pria itu tak menjawab, masih dalam posisinya. Ai mendekat. Ia memukul meja pria itu hingga pria itu sontak terbangun dan melototi gadis yang tengah menatapnya kesal.

“ini tempatku.” Pria itu membela diri. Ai terkejut. Sejak kapan? Ai tak ingat kalau bangku kosong ini sudah ada yang menghuni. Ai mundur. Lalu keluar kelas. Ia tak bisa menikmati ketenangan di kelasnya lagi setelah ia tahu bahwa ia telah melakukan hal konyol seperti tadi. Ai mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Ia memilih perpustakaan sebagai tempat kedua yang tak berpenghuni.

“heiii! Kau!” pria yang terkenal cukup tampan di sekolah itu meneriaki seorang gadis yang baru saja lewat di hadapannya. Sedangkan gadis yang diteriaki tak menoleh. Ia sama sekali tak merasa bahwa orang yang dimaksud pria itu adalah dirinya.

“kau, gadis berambut pendek bernama Ai! Tunggu.” Ai terkejut. Ia berhenti. Pria itu tersenyum lalu segera menghampiri Ai. “kau Ai, kan?” pria itu menyapanya. Ai hanya menatap pria itu dengan tanpa ekspresi. “ah, pasti Ai!” tambahnya.

“ya.” Ai menjawab dengan datar. Ia tahu, pria itu adalah Masao-san, banyak wanita yang mengejarnya. Tapi, ia sama sekali tak berminat dengan hal itu.

“begini, maukah kau kencan denganku malam ini? Kupikir dengan gayaku yang keren ini, kau…” belum sempat Masao melanjutkan kalimatnya, Ai segera membungkukkan tubuhnya sedikit.

“tidak.” Ai kembali meluruskan punggungnya lalu berbalik pergi meninggalkan Masao. Masao diam saja dan tak sadar ia telah ditolak oleh Ai.

“EH? Heeiii!! Aku belum selesai bicara.. dasar!” Masao yang kesal meneriaki Ai yang semakin menjauh. Sedangkan yang diteriaki ini seolah tak berperasaan tetap bersikap biasa saja.

“kau lihat? Ada apa dengannya? Sombong sekali. Ckck.. masih ada saja orang seperti itu.” gerutu Masao kepada beberapa temannya.

“haha.. kau ini! Sudah tahu dia sombong seperti itu tapi masih saja kau dekati.” Timpal salah satu temannya.

“aku hanya kasihan dan penasaran padanya. Setahuku hanya Yuki seorang temannya. Hm.. bukankah menarik memacari wanita yang bersikap seperti itu? hah, tapi setelah diperlakukan seperti tadi rasanya aku berubah pikiran. Lebih baik dekati Yuki saja. Lalu membantu gadis batu itu tersenyum. Bagaimana? Haha..” bela Masao.

“kau ini murahan sekali. Masih banyak wanita yang mengejarmu. Untuk apa kau memikirkan wanita beku itu? Apalagi sengaja mendekati Yuki hanya untuk membantu Ai? Yah, memang menarik sih kalau bisa melelehkan hatinya, itu adalah keberanian yang sangat hebat.” sindir salah satu teman Masao dengan tajam.

“nani?! Enak saja. Aku hanya merasa tertantang. Hm, dari semua wanita yang telah kupcari rasanya tak ada yang jual mahal sepertinya. Tapi, baiklah. aku tidak akan peduli pada gadis itu. Sudah ya.” Masao melambaikan tangannya dan meninggalkan teman-temannya.

=====

“untuk mengerjakan soal matematika ini, kalian harus mengerjakannya dengan partner kalian. Hanya boleh dua orang ya. kalian bebas memilih teman. Soal matematika ini ada 15 nomor dan sedikit rumit jadi lakukan kerja sama yang baik.” Kobayashi sensei mengarahkan murid-muridnya.

“Hai!” murid-murid langsung berpencar mencari partnernya masing-masing. Ai hanya menunggu ajakan dengan tenang dibangkunya. Ai lebih memilih menunggu ajakan karena ia cukup percaya diri dengan kecerdasannya di bidang matematika, ia berpikir akan ada banyak teman yang menawarkannya menjadi partner. Namun, sampai semua teman telah mengumpulkan nama partner masing-masing, tak kunjung satu orangpun yang mengajaknya. Ai menatap teman-temannya dengan tatapan membunuh, tak adakah yang ingin memanfaatkan kecerdasannya? Ini sebuah penghinaan bagi Ai. Yuki pun tak mengajaknya.

”loh.. Ai-san, kenapa kau tampak menyeramkan seperti itu?” tanya Kobayashi sensei.

“siapa partnerku, sensei?” Ai bertanya balik. Pertanyaan yang bermaksud agar Kobayashi sensei akan menawarkan seorang partner cerdas untuknya.

“hm.. bukankah di kertas ini tertulis, Ai-san dan Akai-kun satu tim? Bukankah kau sendiri yang memberikannya padaku?” sontak Ai terkejut. Begitupun Akai. “Akai-kun, majulah ke tempat duduk Ai. Satu tim harus duduk bersama.” Perintah Kobayashi sensei. Akai memancarkan raut wajah menolak. Namun tak ada pilihan lagi. Akhirnya Akai berdiri dan berjalan menuju tempat duduk Ai dengan malasnya.

Siapa yang melakukannya? Ai penasaran. Ia tak mungkin melakukan hal semurahan itu. Ai menatap Yuki, ah- apa itu? Matanya memalingkan pandangan kea rah lain. Tatapan ketakutan. Pasti Yukilah pelakunya. Sial!

“selamat mengerjakan, minna-san!” Kobayashi sensei memberi semangat pada murid-muridnya. “ingat! Ibu sudah memberikan masing-masing tim sebuah kertas, kerjakan disitu. Hanya satu jam. Harus selesai dalam satu jam!” tambahnya. Murid-murid langsung memasang tampang memelas begitupun Akai terkecuali Ai.

“harusnya aku bersama Ai tadi. Huh..” Batin Yuki dalam hati. Ia menyesal menuliskan nama Ai dan Akai sebagai satu tim. Itu karena saran Masao yang tadi menemuinya pas istirahat. Masao menyuruhnya untuk mendekatkan Ai dan Akai setelah Yuki bercerita tentang sikap dingin Akai yang mirip dengan sikap dingin Ai. “huwaaa… baka!” Yuki menatap tim Ai dan Akai dengan kesal.

“kerjakan nomor 1-7 dan aku nomor 8-15.” Ai mengarahkan dengan serius. Akai tak menjawab. Akai tampak sibuk dengan pulpen dan dan kertasnya juga lagi-lagi dengan headset yang menggantung di kedua telinganya. Apa yang dia lakukan? Ai membiarkannya. Sampai mereka berdua hanyut dalam kesibukan masing-masing.

“AI tak sadar waktu, ia sudah sampai pada nomor 14. Ia melirik Akai yang rupanya sedang menyandarkan kepalanya sembari mendengarkan musik. Tidur? Ai melotot kesal. Dengan kasar, Ai menarik headset tersebut. Akai terbangun. Ia menatap Ai yang sedang geram padanya.

“HEI! Bodoh!” bentak Ai. Seisi kelas terkejut, ini pertama kalinya Ai membentak. Untung Kobayashi sensei sedang tak ada di kelas. Dengan begitu, Ai bisa leluasa menindas partnernya ini.

“apa?” jawab Akai datar. APA? Murid-murid terkejut melihat reaksi santai Akai. Padahal Ai sudah ingin membunuhnya.

“kau! Kusuruh kau mengerjakan nomor 1-7!” bentak Ai lagi. Ia masih melototi Akai.

“lalu?” Akai bertanya balik. Kemudian ia melanjutkan aktivitas tidurnya dengan tenang. Ai semakin geram. Diraihnya kerah seragam Akai. Akai menahan tangan Ai dan menghentakkannya dengan kasar. Ia bangkit dari tempat duduknya dan merapikan alat tulisnya.

“ini!” Akai menaruh beberapa lembar kertas di meja Ai. Ia lalu berbalik dan kembali ke tempat duduknya yang berada di baris belakang. Seisi kelas seolah menonton film action, raut wajah mereka tegang.

Ai meraih kertas-kertas tersebut. Ia mengamatinya baik-baik. Beberapa temannya mencoba melirik isi kertas tersebut namun nihil. Mereka tak berhasil melihatnya. Ai terdiam, raut wajahnya menyesal. Ia lalu seolah mencocokkan isi kertas dari Akai dengan kertas dari jawabannya sendiri. Setelah itu menyalin rapi isi kertas tersebut pada kertas yang diberikan Kobayashi sensei. Seisi kelas menatapnya heran.

======

“Akai!” panggil Ai. Ini pertama kalinya Ai memanggil seseorang. Ia telah mengumpulkan keberanian yang besar untuk itu. Akai berhenti. Ia berbalik dan didapatinya sosok Ai yang berlari kepadanya.

“gomenne!” Ai membungkukkan tubuhnya sedikit. Akai hanya diam sedangkan Ai terus-terusan membungkukkan tubuhnya. Akai heran dengan kelakuan Ai. Lalu dengan berat hati menjawabnya.

“ya.” jawab Akai datar. Mendengar jawaban tersebut perasaan Ai lega dan dengan cepat meluruskan punggungnya kembali. Ai langsung berbalik dan mempercepat langkahnya meninggalkan Akai. Tampak Akai menyunggingkan senyum tipisnya, Yuki dan Masao yang melihat kejadian itu tersenyum bersama-sama.

“sudah kuduga.” Masao angkat bicara. Yuki hanya membalasnya dengan senyuman dan masih memperhatikan Ai yang berjalan pulang.. Yuki senang melihat Ai yang sedikit mengalami kemajuan.

=====

“tadaima” setelah mengucapkan itu, Ai segera mengganti sepatu sekolahnya dengan sandal jepang miliknya. Tak ada jawaban seperti biasa. Ia langsung masuk ke kamarnya. Namun, ia terkejut saat mendapati tempat biasa ia menaruh koleksi komik-komiknya itu kosong. Matanya membelalak. Ia segera mencarinya dengan berkeliling rumah namun nihil. Ia hanya mendapati ayahnya yang sedang menonton TV.

“otousan! Di mana komik-komikku?” tanya Ai. Ia berusaha bersabar.

“hm.. yang di kamarmu itu, rasanya sudah kujual tadi pagi.” Jawab ayahnya santai. Bahkan tak melihat secelahpun wajah Ai yang merah padam karena kesal.

“EH? Doushite?” geram Ai. “otousan, kupikir kau tahu betapa berharganya komikku!” semakin geram Ai dibuatnya. Ayahnya tak berekspresi.

“aku butuh uang.” Jawab ayahnya lagi, singkat. “kau sudah membacanya, kan? Jadi untuk apa disimpan terus? Lupakan saja. Jangan ganggu aku.” Tambah ayahnya.

Ai semakin kesal. Ia menuju kamarnya dengan cepat dan menutup pintunya dengan kasar. Ia memutar tape lagu-lagu japan rock dengan volume yang besar. Di sisi lain, di ruang nonton TV, ayahnya hanya memejamkan matanya menyesal atas apa yang telah dilakukannya.

Sampai sore hari, Ai terus-terusan memutar tape tersebut. Ia tampak sangat kesal.

“Ai-chan, ada yang mencarimu. Hei buka! Buka pintunya!” teriak ayahnya dari balik pintu. Volume suara ayahnya tak kalah dari volume tape tersebut. Ai mendengarnya dan mematikan tapenya. Ia membuka pintu kamar dengan kasar lalu menatap wajah ayahnya dengan penuh kebencian.

“apa?” tanya Ai datar. Ayahnya sedikit kesal atas sikap putrinya yang tidak sopan, namun ia tak tega memarahinya. Ia mengerti apa yang dilakukan Ai sudah tepat.

“ada yang mencarimu.” Ai tak menjawab apa-apa dan segera kembali masuk ke kamarnya. Lagi-lagi ia menutup pintu dengan kasar. Ayahnya keluar dan menemui tamu tersebut. Ayahnya menyuruh tamu tersebut untuk menunggu.

Rupanya Ai bersiap-siap di kamarnya. Ia memakai pakaian yang rapi dan menyembunyikan raut wajah kesalnya dengan dandan sederhana. Konyol, ini pertama kalinya ia menerima tamu dan mau berdandan seperti ini. Ia hanya ingin segera pergi dari rumahnya karena kesal.

“kau..” Ai terkejut melihat Masao mendatangi rumahnya. Padahal ia pikir yang datang adalah Yuki.

“wah, tepat sekali kau sudah rapi-rapi begitu. Aku ingin mengajakmu kencan.” Ucap Masao. Lalu ia berdiri dan tersenyum pada Ai. Bukankah Ai sudah menolak tawarannya? Bodoh.

Ai mengangguk lalu berjalan keluar. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah pergi dari rumahnya dan melupakan kekesalan pada ayahnya. Masao terkejut dan tersenyum riang.

Selama perjalanan, tak ada satupun yang mau angkat bicara. Hingga mereka hanyut dalam keheningan.

“Ai-san, apa kau pernah tersenyum?” Masao memulai pembicaraan. Ai melihatnya sekilas.

“ya, pernah.” Jawab Ai singkat. Mereka masih berjalan entah mau ke mana.

“kalau begitu…” Masao menghentikan langkahnya. Ia menarik tangan Ai lalu memegang kedua pundak Ai dengan beraninya. Padahal mata Ai sudah membelalak dan telah menatap Masao dengan tatapan sarkastiknya. “tersenyumlah.” Masao tersenyum padanya. Lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Ai dengan cepat dan memaksa. Ai terkejut sampai Masao berhasil menyentuh bibirnya. Masao mencium bibir Ai dengan kasar dan memaksa. Ia bahkan menarik pinggang Ai agar lebih merapat ke tubuhnya. Ai memukul-mukul punggung Masao. Masao malah sempat tersenyum disela-sela ciumannya. Ciuman itu tak berlangsung lama hingga Ai menginjak kaki Masao dengan keras. Masao meringis kesakitan hingga melepas ciuman sepihak tersebut.

“plaaaaakkk!” Ai menampar pria hidung belang itu. Ia tak menyangka ciuman pertamanya direnggut dengan kasar oleh Masao. Ai berlari sekuat mungkin dan meninggalkan Masao.

Ai mencari tempat yang tenang. Ia memutuskan untuk pergi ke taman. Di sana ia menangis sebisanya. Ia menyesali atas semua yang terjadi padanya hari ini. Semua terjadi begitu cepat.

“bodoh.” Suara berat yang tak asing bagi Ai menghentakkannya. Ai menyembunyikan suara tangisannya. Sesegera mungkin ia membersihkan air matanya. Ia menoleh di sampingnya. Akai? Ya, Akai sudah duduk di sampingnya. Ia tengah menggenggam komik Detektif Conan dan ipodnya.

“….” Ai tak mau menjawab. Ia sangat malu bahkan menatap wajah Akai saja ia tak berani. Ingin pergi tapi, tak tahu harus ke mana? Ia tak ingin ke rumahnya. Satu-satunya tempat yang tenang hanyalah taman kota ini.

“suara tangisanmu mengusik ketenanganku.” Akai kembali bicara dengan tajam. Bahkan ia berkata begitu tanpa melihat wajah Ai. Namun, kata-kata itu tak menusuk Ai. Ia sadar, ia selalu bersikap sarkastik seperti itu. Apatis seperti itu. ai beranjak, ia melangkah pergi dari tempat duduk tersebut meninggalkan Akai.

“mau ke mana?” tanya Akai.

“entah.” Jawab Ai datar.

“kemarilah.” Akai menyuruhnya mendekat. Ai menolak, ia terus melanjutkan langkahnya dengan lambat.

“kau tak dengar? Kemarilah.” Akai mengulanginya. Entah ada angin apa, walau sedikit ragu akhirnya Ai menurut. Ia kembali ke tempat duduknya. Duduk di samping Akai.

“boleh kupinjam komik yang tadi pagi kau bawa ke sekolah?” Akai memulai pembicaraan. Mereka berbicara satu sama lain tapi tidak saling berpandangan. Apakah begini cara orang yang sama-sama apatis, sarkastik, cuek atau apalah namanya itu berkomunikasi?

“ng, hik.. tentu. Besok kubawakan..” Ai menjawab. Ia masih terisak. Akai terlihat merogoh sakunya mengambil sesuatu.

“bersihkan air matamu.” Akai menawarkan sapu tangannya. Ai menggelengkan kepalanya pertanda ia menolak. Akai tak menawarinya dua kali. Ia dengan cepat menyimpan kembali sapu tangannya.

“aku mau pulang.” Ai memberanikan diri berdiri di hadapan Akai yang masih duduk. Ai lansung membungkukkan tubuhnya. “arigatou..” Akai tak menjawab. Ia tahu, Ai takkan meluruskan punggungnya kembali sebelum mendengarkan jawabannya, sama seperti waktu gadis batu itu meminta maaf.

“ada yang ingin kubicarakan. Jangan pulang dulu.” Akai merasa bodoh jika membiarkan seorang gadis yang dikenalnya menangis di hadapannya dan membiarkannya begitu saja. Apalagi pulang dalam keadaan masih terisak. Wow, gentle!

“eh?” akhirnya Ai menurut. Ia meluruskan punggungnya dan duduk kembali. “merepotkan.” Batin Ai dalam hati.

“kenapa menangis? Tidak biasanya.” Tanya Akai. Lama, Ai tak menjawab. Akai melihat Ai yang tengah menunduk dengan air mata yang ditahannya. “kau..” raut wajah Ai kasihan. Akai memberanikan diri memegang pundak Ai dengan pelan. “jangan menagis..” tambahnya.

Ai mengangkat wajahnya. Ia mengulurkan tangannya. “mana saputanganmu?” Akai tersenyum. Ia segera melepas tangannya dari pundak Ai dan mengambil sapu tangannya dan memberikannya pada Ai. Ai menyambutnya lalu membersihkan airmatanya.

“bodoh ya. Aku menangis.” Ai berbicara disela-sela isakannya. “tidak biasanya, benar. Haha..” tambah Ai. Ia tertawa dengan paksa. Tersenyum dengan berat.

“ada apa?” Akai mengangkat alisnya penuh tanya. Gadis berani yang telah mengenggam kerahnya itu menangis adalah hal yang bertolak belakang.

“benarkah kau ingin tahu?” tanya Ai balik. Ia menatap Akai. Akai mengangguk pelan.

“banyak hal yang membuatku kesal hari ini.” Ai mulai bercerita. Ia diam sejenak lalu melirik Akai yang tampak menunggu ceritanya. Ai menyunggingkan senyumnya. “Apa benar dia peduli?” batin Ai dalam hati. Akai heran melihat senyuman itu. Ada apa?

“pertama, kau merusak moodku karena tak menurut perintahku. Kusuruh kau mengerjakan soal matematika nomor 1-7 malah kau kerjakan sampai selesai 15 nomor. Apa kau hebat?” Ai melirik Akai. Lalu tersenyum. “ya, kau hebat juga, jawabanmu sama semua dengan jawabanku.” Akai tersenyum. lalu memandang lurus ke depan.

“kedua?” Akai ingin mendengar kelanjutannya. Ai lagi-lagi tersenyum. “dia benar-benar peduli.” Batinnya.

“komik-komikku dijual ayahku sepihak, tak tersisa satupun. Kecuali komik yang tadi pagi kubawa. Untung kubawa.” Ai menceritakannya dengan kesal. “ayahku bahkan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Padahal jika minta maaf, aku akan memaafkannya.” Ai berceloteh panjang lebar. Tak tahu mengapa Ai merasa tak ada yang melarangnya berbicara pada Akai. Ia merasa nyaman dan lega.

“komik bisa dibeli lagi. Apa susahnya? Kau bisa kumpul uang lagi kan? Suruh ayahmu minta maaf dengan sopan padamu.. Hm, ketiga?” Akai member sedikit pendapatnya. Ai membelalak, “tidak semudah itu. bodoh.” batin Ai lagi dalam hati.

“ketiga, hm, terakhir…” belum selesai Ai melanjutkan kalimatnya, Akai sudah memotongnya.

“terakhir? Kau bilang ada banyak hal. Rupanya hanya ada tiga.” Sindir Akai. Ai terlihat mengembungkan pipinya kesal dan pipinya sedikit memerah karena malu. “apa yang ketiga?” tanya Akai lagi.

“hm, ini pribadi. Aku ingin bicara tapi, malu dan…” Ai tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia menyadari butiran bening air matanya mulai mengalir keluar. Ia segera menunduk dan membersihkannya dengan saputangan milik Akai. “Masao-kun,… “ Ai masih terbata-bata.

“Masao-kun, kenapa?” raut wajah Akai penasaran. Ia memegang pundak Ai lagi. “hm?”

“dia dengan paksa, men-men-menciumku, Akai-san!” tangis Ai meledak. Akai terkejut. Mulutnya terbuka tak percaya. Lalu kembali berekspresi tenang. “bodoh sekali aku tidak bisa membaca bahasa tubuhnya yang hidung belang itu.”

Akai menepuk pundak Ai dengan pelan. Ia berusaha menenangkan gadis dingin yang tengah menangis di sampingnya ini. “akan kuberi pelajaran padanya.” Akai tak sadar melontarkan kalimat tersebut. Ia hanya tak bisa melihat seorang gadis menangis di dekatnya. Ai masih menagis. Sapu tangan Akai tak bisa menyeka semua air matanya. Saputangan Akai basah di semua sisinya. Ai terus-terusan menangis hingga Akai semakin mendekat. Ia memeluk Ai dengan maksud agar Ai bisa merasa sedikit tenang. Ai terkejut namun tak bisa apa-apa. Kekuatannya habis pada saat ia menagis. Ia tak bisa menolak dan menampar Akai yang berbuat lancang memeluknya. Pelukan itu hangat dan lama kelamaan tangisan Ai semakin reda.

“berhenti menangis.” Akai berbisik padanya dalam pelukan itu. Ai mendorong pelan tubuh Akai agar melepas pelukan itu. Akai menurut.

“maaf.. sebaiknya kau pulang. Kau butuh istirahat.” Akai menepuk pelan pundak Ai. Akai bangkit dari dudukannya lalu mengacak rambut Ai dengan sayang dan menyunggingkan sesimpul senyuman. “pulanglah.” Akai menyuruhnya pulang dengan tenang. Ai menatapnya heran. Tangisannya semakin hilang.

“eh? Sapu tanganmu?” tanya Ai.

“bawa pulang dan cuci. Kembalikan padaku besok.” ucap Akai. Akai langsung berbalik dan melangkah pergi. Ai menatap punggung pria itu. Ai mengamati pria itu. “mirip seseorang..” batin Ai dalam hati. Akai berjalan dengan tas lengan panjangnya menggantung di lengan kirinya. Sedangkan kedua tangannya bersembunyi di balik saku celananya. Gayanya berjalannya yang cuek, tenang dan keren. “Shinichi kudou…” batin Ai lagi.

“tu-tunggu!” Ai bangkit secepat mungkin. Ia tak berani mendekati pria itu. Akai diam sejenak lalu tak lama ia berbalik menghadap Ai. “jangan ceritakan pada yang lain. Aku mohon.” teriak Ai karena jarak mereka yang agak berjauhan. Akai mengangguk pelan dan tersenyum. Ia kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya. Semakin menjauh dan Ai hanya memandangi punggung Akai yang lama-kelamaan sudah menghilang dari pandangannya.

“arigatou..” senyuman Ai merekah. Ia melirik jam tangannya lalu berjalan pulang meninggalkan taman kota tersebut. Perasaannya sedikit lega karena Akai.

====

TBC

2 comments:

Anonymous said...

yang ini ada lanjutannya, kah?

Unknown said...

Ada.. Baru di posting. ^^a
thanks for reading. :D