Wednesday, June 22, 2011

#09. Story: Kencan Pertama

Hai..Minna-san.. kali ini saya mau posting karangan cerita fiksi buatan saya lagi. Saya buat ceritanya di waktu saya lagi liburan menunggu pengumuman, daripada lumutan di rumah karena bosan, mending ngarang. Hehehe… karangan saya kali ini agak romantis. Sebenarnya saya tidak berbakat membuat cerita seperti ini, tapi apa salahnya kucoba. Maaf yah jika terlalu jelek. Hehehe… baiklah, enjoy it!

====

Tokyo, memang kota yang padat. Entah sudah berapa pasang kaki yang telah hilir-mudik di antara trotoar jalannya. Padahal saat ini Jepang sedang dalam musim dingin. Masing-masing melakukan kesibukannya dengan jaket-jaket tebal mereka. Begitupun dengan Nakatsu Shuichi. Lelaki tinggi dan berambut pirang ini terlihat sangat bosan menunggu sesuatu oh, bukan.. maksudku menunggu seseorang. Ia mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Hingga tak tahan, ia pun merogoh saku jaketnya dan mengambil handphonenya. Tampak ia menekan beberapa angka yang jelas sudah dihapalkannya diluar kepala.

“moshi-moshi.. Nakatsu-san? Ada apa?” suara dari seberang telepon itu seketika mengubah raut wajah pria berambut pirang ini.

“Mizuki-san.. kau di mana? Aku hampir bosan menunggumu.” Pria ini menjawab. Jelas, ia berbohong, sebab sudah satu jam ia menunggu dan ia sudah sangat bosan. Nakatsu melirik jam tangannya sebentar dan melanjutkan pembicaraannya. “Ini sudah sore. Kau membuang waktuku.” Sambungnya.

“ah.. gomenne, aku lupa! Aku segera ke sana!” belum sempat Nakatsu menjawab, orang yang ditemaninya mengobrol tadi malah menutup teleponnya. “tiit..tiitt..ttiitt..”

“eeh? Baka desune!” gerutu Nakatsu sembari menutup ponselnya dengan kesal. Pria pirang ini melanjutkan ‘aktivitas’ nya. Kembali, ia mengamati dengan bosan orang-orang di sekitarnya. Angin pun berhembus lembut menerjang kulit putihnya dan dengan sigap ia merapatkan jaketnya dan menggosok telapak tangannya. “hufft.. dia ingin membuatku mati membeku ya!” batinnya.

Ia melirik jam tangannya lagi. Sudah lima belas menit berlalu setelah orang yang dihubunginya tadi menutup teleponnya. Pria ini mendesah kesal.

“Nakatsu!” suara itu mengagetkan pria ini. Ia hapal betul suara wanita yang memanggilnya. Wanita itu tersenyum lalu melambaikan tangan kepadanya. Nakatsu sudah kesal, ia tak meresponnya malah berbalik acuh pada wanita yang tengah tersenyum padanya. Seketika melihat reaksi pria pirang itu, senyuman wanita ini memudar begitu saja.

“hei! Nakatsu-san, aku sudah minta maaf, bukan? Aku benar-benar lupa!” wanita itu memulai pembicaraan setelah keheningan menghanyutkan mereka berdua saat tengah jalan bersama menuju suatu tempat. Pria pirang ini tidak menjawab, tampaknya sangat kesal hingga menyilangkan kedua tangannya. Ia tak menghiraukan gadis yang tengah berceloteh di sampingnya.

“Nakatsu! Jika begitu terus, lebih baik batalkan saja acara kencan kita. Ini tidak baik! Aku tidak mungkin menikmatinya.” Wanita ini membela diri. Ia memberi ancaman yang mungkin bisa meluluhkan kekasihnya, Nakatsu.

“eehh? Baka! Harusnya aku yang bilang begitu. Huh! Baiklah, kau kumaafkan.” Akhirnya pria pirang ini menjawab dengan kesalnya. Ia tak punya pilihan lain, ini adalah kencan mereka yang pertama, bagaimana mungkin Nakatsu membatalkan semuanya.

Setelah mendengar jawaban kekasihnya, wanita ini mendekati pria pirang yang tengah berjalan mendahuluinya. Ia bergelayut manja pada lengan Nakatsu.

“hei hei, Mizuki! Lepaskan. Kau tak malu dilihat banyak orang begini?” Nakatsu menolak, ia melepas tangan kekasihnya dengan pelan. Tampak Mizuki mengembungkan kedua pipinya dengan manja tanda kesal. “haha..” batin Nakatsu.

“apa salahnya? Kita kan sepasang kekasih. Benar-benar Nakatsu tidak romantis!” batin Mizuki penuh kesal. Ia hanya tak mau mengungkapkannya secara langsung. Ia tak ingin merusak kencan mereka lagi karena hal ini.

====

“tropical land? Hei, Nakatsu! Kencan di tempat bermain seperti ini sangatlah kekanak-kanakan!” gerutu Mizuki. Nakatsu membawa kekasihnya ke tropical land. Mizuki menolak dan menarik lengan Nakatsu untuk meninggalkan tempat itu. “lagipula cuaca dingin seperti ini tidak cocok untuk bermain!” sambung Mizuki.

“adduuhh.. bukankah ini menarik? Kita bisa main roller coaster dan wahana menegangkan lainnya. Tenang saja, aku yang traktir. Hohoh..” Nakatsu balik menarik lengan kekasihnya. Ia tampak tak sabar bermain bersama dengan Mizuki di tropical land. “ayoo!” tambahnya.

“bodoh! Bukan masalah traktirnya, tak maukah kau membuatku senang? Romantislah sedikit! Aku pergi!” Mizuki marah. Ia meluapkan amarahnya pada Nakatsu yang tak romantis itu. Sebelum Nakatsu menjawab, wanita ini telah hilang dari hadapannya.

“he-heeiiii!” panggil Nakatsu. Ia mengejar Mizuki yang tengah berjalan cepat meninggalkan Nakatsu. Mizuki sedikit menyesal telah mengatakan ‘romantislah sedikit!’ pada kekasihnya padahal ia tahu benar bahwa Nakatsu bukan tipe pria seperti itu. Wanita ini memejamkan matanya. Lalu mempercepat langkahnya. Ia enggan menoleh saat kekasihnya, Nakatsu, mati-matian memanggilnya.


Nakatsu tak mau menyerah. Ia menambah kecepatan larinya hingga lengan kekasihnya berhasil diraihnya. “Mizuki, maaf. Baiklah, kau yang tentukan tempatnya.” Nakatsu meleleh, ia tak bisa menyia-nyiakan kencan pertama mereka. Nakatsu memberikan senyuman mautnya, bermaksud untuk meredamkan amarah wanita yang tengah memejamkan matanya saking kesalnya.

“hufft! Baiklah, Nakatsu. Lakukan sesukamu. Aku yang minta maaf. Aku tak seharusnya egois seperti ini. Aku mengerti. Ayo kita kembali ke tropical land.” Mizuki berbalik arah dan menarik lengan Nakatsu. Ia memberi isyarat ‘ayo-kita-ke-tropical-land’.

Nakatsu tertegun mendengar kata-kata kekasihnya. Ia merasa bersalah dan takut jika tak dapat membahagiakan Mizuki pada kencan pertama mereka . Nakatsu menyesali tindak ke-tidak-romantisan-nya ini. Nakatsu tak menjawab apa-apa. Ia menahan tangan wanita yang sedang menarik lengannya.

“sreeett…” Nakatsu menarik lengan kekasihnya. Tubuh Mizuki yang kecil itu dengan mudah tertarik ke pelukan Nakatsu.
“buuukkk.” Mizuki jatuh pada pelukan Nakatsu. Mizuki terkejut hingga terbelalak.

“gomen, Mizuki-san. Aku kira kau suka jika tropical land menjadi tempat kencan kita. Hehehe..” Nakatsu amat merasa bersalah. Ia meminta maaf pada Mizuki dalam pelukan mereka.

“he-hei! Lepaskan. Kau tak malu dilihat banyak orang begini?” Mizuki membalas dengan canda kata-kata yang diucapkan Nakatsu tadi saat ia bergelayut manja pada lengan Nakatsu. Lalu ia tertawa dalam pelukan kekasihnya. Jujur, ia senang Nakatsu mau minta maaf padanya.

“ehh-heeeii?” seketika Nakatsu melepas pelukannya. Ia tak sadar bahwa wajahnya memerah karena malu. “haha, aku lupa kalau kita sedang berada di tengah jalan begini.” Sambungnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“hahaha…” Mizuki meresponnya dengan tawa. “kau ini! Tak usah malu, dasar! Apa kau belum pernah pacaran sebelumnya? Hahaha…” Sambung Mizuki. Ia melucuti Nakatsu dengan pertanyaan yang seketika mengubah raut wajah Nakatsu menjadi kikuk.

Melihat reaksi Nakatsu, Mizuki kembali tertawa lepas. Nakatsu mengacak-acak rambut Mizuki lalu menarik leher kekasihnya yang tengah tertawa itu ke pelukannya. Nakatsu merangkul Mizuki sembari tertawa. Mizuki masih melanjutkan tawanya, dan tak lama kemudian Mizuki melingkarkan lengannya ke pinggang Nakatsu. Mereka berjalan bersama dengan penuh tawa menuju tropical land.

=====

Selama berjam-jam mereka menikmati beberapa wahana yang memacu adrenalin di tropical land. Hingga tak sadar bahwa langit yang cerah tadi sudah mulai gelap dan jalanan semakin sepi. Mereka memutuskan untuk makan malam bersama di tempat yang Mizuki tentukan.

“kita makan di sini!” Mizuki melepas rangkulannya dan menuju salah satu tempat duduk di rumah makan yang dipilihnya. Ia duduk dengan cepat tanpa sadar meninggalkan Nakatsu yang masih berada di dekat pintu masuk tengah mengamati rumah makan tersebut. Mizuki tersenyum padanya dan memberi isyarat pada kekasihnya itu ‘segeralah-ke-sini-ayo!’. Nakatsu menyadari isyarat tersebut, dengan segera ia menuju ke tempat duduk Mizuki.

“heeii.. Nona Mizuki Ashiya, kita makan di pinggir jalan saja. Aku tak punya cukup uang untuk makan di tempat ini.” Bisik Nakatsu. “ayo! Mumpung kita belum memesan satupun makanan di sini!” sambungnya tampak hati-hati. Nakatsu membisikkan kalimat ‘pencegahan’ itu dengan sangat hati-hati agar si empunya rumah makan tak mendapatinya. Mizuki hanya meresponnya dengan senyuman manisnya.

“ayo! Jangan tersenyum begitu. Menyeramkan!” Nakatsu masih berbisik pada Mizuki.

“eh? Huuh.. Karena aku yang mengajakmu ke sini, jadi biar aku saja yang membayarnya, bodoh! Ayo cepat duduk dan pesan makanan.” Mizuki menolak ajakan Nakatsu malah berbalik menyuruhnya untuk tetap makan di tempat itu.

“benarkah? Haha.. baiklah, kau yang traktir. Apa boleh buat.” Nakatsu mengangkat bahu dan tangannya dan memberi raut wajah ‘ya sudahlah’. Lalu diraihnya menu yang berada dihadapannya.

“haha.. dasar!” Mizuki menopangkan dagunya dengan kedua tangannya sembari mengamati kekasihnya yang sedang asik memilih menu. Pria pirang itu tak meresponnya. Tampaknya ia sangat bersemangat dengan makan malam kali ini.

=====

“Gochisousama deshitaaaa..” ucap Mizuki setelah selesai menyantap makanannya. Selama makan, mereka tak pernah mengobrol sepatah katapun. Mizuki sangat memahami kekasihnya bahwa Nakatsu tak suka berbicara jika tengah makan. Ucapan ‘sesudah makan’ dari Mizuki tersebut hanya direspon dengan senyum oleh Nakatsu.

“ haha.. pria ini sangat membosankan!” batin Mizuki dalam hati. Ia memejamkan matanya, ia cukup lelah telah jalan bersama dengan kekasihnya ini.

Sementara Nakatsu sedang menikmati makanannya, Mizuki memutar otaknya menuju satu bulan yang lalu. Saat itu Nakatsu masih berstatus sebagai sahabat karibnya. Mereka tengah jalan bersama menuju sekolah mereka untuk mengambil ijazah tanda kelulusan mereka. Tiba-tiba Nakatsu menyatakan perasaannya pada Mizuki. Serangan mendadak, benar! Pria pirang ini membelikan Mizuki es krim lalu mengajak Mizuki untuk menikmati pemandangan kota Tokyo di pagi hari. Mizuki sama sekali tak menyangka bahwa saat mereka tengah duduk bersama sambil memakan es krim, Nakatsu mengatakan perasaannya dengan cara yang manis baginya.

“Mizuki-san, dingin yah? Hihi..” Nakatsu memulai pembicaraan mereka.

“tentu saja. Dasar bodoh! Musim dingin begini membelikan es krim dan mengajakku melihat-lihat kota padat ini. Tumben sekali. Hahaha…” Mizuki membalasnya dengan kalimat yang seketika membuat Nakatsu bingung untuk melanjutkan pembicaraan mereka.

“ng.. hmm.. ya, aku sedang mencari momen yang tepat.” Nakatsu memulai acara menyatakan perasaannya.

“eeh?” Mizuki mengangkat satu alisnya dan memberi raut wajah penuh tanya. Saat itu, Mizuki merasa ada yang berbeda. Benar! Kata-kata Nakatsu seketika mengubah atmosfir tegang dan membuatnya mengerti apa yang akan dikatakan Nakatsu selanjutnya. Dan hal itu membuat cewek berambut sebahu itu berdebar salah tingkah.

“hmmm.. Okashii yo ne. Anata no soba ni iru to, tottemo ochitsuku no.. (aneh ya, kalau aku bersamamu aku merasa damai).. hahaha..” Nakatsu mengutarakan perasaannya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia tak sedikitpun melihat wajah Mizuki saat itu, ia menyatakannya dengan pandangan lurus di hadapannya. Tampak serius dan malu. Mizuki membelalak lalu menunduk, udara serasa sangat panas saat itu. Wajahnya memerah.

“hahaha… Koi ni ochiru nante koto wa arienai to omotte ta. Konna kimochi ni natta koto wa nai (aku kira aku tak akan pernah jatuh cinta. Belum pernah aku merasa seperti ini)..” Nakatsu melanjutkan. Kini, ia sangat berdebar, ia tak menyangka dapat mengatakan semua ini pada Mizuki. Wanita di sampingnya itu terus menunduk dan tersenyum. Es krim yang digenggamnya meleleh karena hawa panas yang dikeluarkan sepasang remaja yang saling jatuh cinta ini.

“ng.. su-su-suki da, Mizuki-san. Daisuki da! Tsu-tsukiatte kudasai (a-aku suka padamu, Mizuki! aku sangat suka padamu! Ja-jadilah kekasihku).” Yaaakk, inilah klimaksnya! Nakatsu pun melontarkan kalimat yang belakangan mengganggu tidurnya. Dia mengungkapkan semuanya. Sebelum mendengar jawaban Mizuki, ia melanjutkan kata-katanya, “ahaha.. doki-doki shichatta yo (Aku jadi deg-deg-an nih).” Lagi-lagi Nakatsu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu karena ia malu. Hawa panas dari tubuhnya membuat wajahnya memerah. Sangat merah. Saat mengucapkan kalimat itu, ia sungguh tak berani menatap wajah wanita yang berada di sampingnya. Lalu disantapnya kembali es krimnya yang berangsur-angsur mleleh dan mengenai tangannya.

Lama dan diam. Mizuki menjawabnya dalam keheningan. Ia tak tahu harus bilang apa. Ya, ia memang sangat suka pada sahabatnya itu. Tapi, ada alasan yang membuatnya sangat takut.

Nakatsu tak sabar menunggu hingga memberanikan diri menoleh ke samping. Dilihatnya Mizuki yang tengah menatap jalanan dengan tatapan kosong. Nakatsu cemas, “Mizuki-san, jika kau tak suka, jangan dipaksakan. Aku, aku hanya ingin kau tahu. Hahah.. tenang saja.” Nakatsu benar-benar merasa tidak enak. “eh-heii.. makan es krimmu. Lihat, sudah meleleh tuh!” Nakatsu kembali berceloteh dengan konyol. Ia berusaha mencairkan suasana tegang diantara mereka.

“ng.. Nakatsu-san, kenapa baru bilang? Kita sudah lulus. Apakah kau yakin kita bisa lebih dekat setelah ini? Belum tentu kita bisa satu universitas kan? Hmmm...” jawab Mizuki. Kali ini, ia berani menatap Nakatsu.

“oohhh.. hahah.. iya juga ya. Tapi, yang lebih penting bagiku sekarang adalah jawabanmu. Iya atau tidak? Masalah yang lain, akan kupikirkan.” Nakatsu membalasnya. Ia tak peduli tentang ke depannya. Asal Mizuki menerimanya, ia akan melakukan apapun untuk bisa bersama Mizuki.

“bodoh! Hmm, ng-ng- ya, aku menerimamu. Aku juga menyukaimu, Nakatsu. Aku mau jadi kekasihmu.” Nakatsu terkejut. Benarkah? Terlihat jelas raut wajah bahagianya pagi itu.

“Arigatou, Mizuki.” Nakatsu memberi senyuman mautnya lagi kepada Mizuki. “heii.. ayo kita ke sekolah!” Nakatsu bangkit dari dudukannya dan mulai berjalan. Mizuki menyusulnya dari belakang.

“eeh? Dia tak memegang tanganku?” gerutu Mizuki dalam hati sambil mengamati pria pirang yang terus berjalan di depannya. “tunggu aku bodoh!”

=====

Saat membuka matanya, Mizuki sadar bahwa ini pertama kalinya mereka jalan bersama lagi setelah hari itu. “Sudah kubilang kan? Kita akan jarang bertemu seperti ini. Sudah pacaran satu bulan, baru mengajakku kencan. Dasar!” batinnya dalam hati. Mizuki melebarkan matanya saat ia tidak melihat siapapun di hadapannya. Dia terkejut dan menyapu pandangan sekitarnya. “ke mana pria bodoh itu?” gerutunya.

“kau tidur yah?” suara itu mengagetkannya. Nakatsu baru saja kembali dari kamar kecil. Dia tampak membersihkan mulutnya dengan sapu tangan yang digenggamnya.

“enak saja!” Mizuki memajukan bibirnya serasa tak terima bahwa ia dikira tertidur di tempat seperti ini. Mizuki meraih tasnya lalu meninggalkan beberapa puluh ribu yen di meja makan mereka. Lalu, ia bangkit dan meraih tasnya. “ayo pulang!” Mizuki berjalan meninggalkan Nakatsu yang masih meneguk sisa minumannya. “he-heeiii! Tunggu!” Nakatsu menyusul langkahnya dengan cepat.

“Kau ini! Kenapa selalu meninggalkanku? Huh.” Nakatsu mengoceh. Ia tak terima sebagai pria, ia ditinggal lebih dulu oleh wanitanya. “aneh! Sesekali romantis tapi sesekali pula bersikap begitu.” Sambungnya kesal.

“hahahaha… baiklah. Hmm, udara semakin dingin saja. Aku pulang dulu ya!” Mizuki berbalik dan membungkukkan tubuhnya, “jaa ne!” lalu meluruskan kembali punggungnya dan tersenyum pada kekasihnya.

“tu-tunggu! Mana boleh kau pamit pergi begitu saja. Ini masih jam delapan lewat, aku ingin membawamu ke Menara Tokyo. Ikutlah.” Belum sempat Mizuki menjawab, tangannya telah ditarik oleh Nakatsu. Tak lama, bayangan mereka menghilang dari jalanan ini.

“kawaii.. ternyata di malam hari, Tokyo sangat indah jika dilihat dari puncak sini.” Kagum Mizuki. Matanya melihat keindahan lampu-lampu yang menyinari kota padat itu serta banyaknya mobil yang menambah padat jalanan di Tokyo.

“hah.. bagaimana? Aku hebat kan telah membuatmu terpesona seperti sekarang ini? Fufufu..” Nakatsu memasang tampang soknya. Ia begitu merasa bangga atas ide cemerlangnya itu. Mizuki hanya merespon dengan senyuman kecutnya.

Mereka hanyut dalam keheningan, masing-masing sibuk mengamati kesibukan kota Tokyo yang tampak dari atas sana. Angin musim dingin berhembus diantara keheningan itu hingga menerbangkan poni rambut keduanya.

“Tokyo indah bukan? Sampai matipun aku takkan meninggalkan Tokyo. :)“ Nakatsu memecah keheningan sesaat. Masih dalam tatapan lurus ke depan. Menikmati anugrah Tuhan yang sedang berada dalam pandangannya.

Mizuki menyunggingkan sesimpul senyuman. “begitulah.. hmm.. wah dinginnya… brrr..” Mizumi merapatkan jaketnya. Ia membuat kedua telapak tangannya saling bergesekan hingga mengeluarkan hawa hangat dalam raganya. Begitupun dengan Nakatsu. Nakatsu yang merasa bosan dengan keheningan itu mulai membuka pembicaraan.

“hmm.. sini! Mendekatlah.” Saran Nakatsu. Mizuki dengan mudah patuh. Nakatsu lalu merangkulnya dengan hangat. “semoga ini bisa membantu.. heheh..” ucap Nakatsu sembari mengusap-usap punggung kekasihnya yang tengah berada dalam rangkulannya.

“hmm… brrr… iyaaa.. ta-tapi.. banyak orang. Kau tak malu dilihat banyak orang begini?” Mizuki mulai lagi. Ia sangat suka bercanda dengan kekasihnya itu disaat-saat kekasihnya mulai bersikap romantis padanya.

“haha.. tak apa. Lihat! Yang datang di tempat ini juga hanyalah beberapa pasang kekasih. Lagipula, aku tak ingin kau mati membeku.” Nakatsu berlebihan. Ya, ia mulai mencoba romantis pada kekasihnya. Setidaknya, dia telah berusaha.

“wah wah..benarkah? aku jadi tersanjung, Nakatsu. Hahaha… pria bodoh!” Mizuki mencandai kekasihnya. Nakatsu yang malu malah merespon kalimat Mizuki dengan mengacak-acak rambut kekasihnya itu dalam rangkulannya dengan penuh kasih sayang. Mereka berdua tertawa bersama.

Mizuki merasa hangat dalam rangkulan Nakatsu. Mizuki melingkarkan lengannya ke pinggang kekasihnya itu. Lalu menyandarkan kepalanya ke bahu Nakatsu dengan manja. Tatapan mereka masih terpaku pada kota Tokyo. Mizuki merasa hari sudah lumayan larut hingga ia menarik lengannya bermaksud agar Nakatsu melepas rangkulannya.

“semakin larut, kita pulang saja.” Mizuki berbalik 90 derajat. Kini mereka berhadapan. Mizuki memegang tangan Nakatsu hendak menariknya untuk segera pulang. Nakatsu diam saja. Raut wajahnya berubah tegang dan salah tingkah. “ng..? ada apa?” Mizuki menyipitkan matanya tanda heran.

Tiba-tiba Nakatsu memeluk tubuh mungil Mizuki dengan erat. Ia mengusap punggung Mizuki dan membelai rambut kekasihnya itu dengan sayang. Mizuki memejamkan matanya. Ia tidak menolak. Lalu dibalasnya pelukan tersebut. Mereka cukup lama dalam pelukan itu dengan diam.

Nakatsu melonggarkan pelukannya dan kini kedua tangannya sedang memegang kedua pipi Mizuki yang merona. Nakatsu menunduk dan mendekatkan wajahnya ke wajah Mizuki dengan kikuk. Mizuki yang tahu maksud Nakatsu mulai memejamkan matanya. Hingga hampir saja kedua bibir mereka saling bersentuhan dan saling merapatkan sisi.

“hhuuuaaacchhiiii!!” Nakatsu merusak semuanya. Seketika mata Mizuki terbelalak dan kesal. Ia segera mendorong tubuh Nakatsu agar menjauh darinya. Lalu diraihnya tissue dari tasnya kemudian mulai membersihkan wajahnya sembari memperhatikan Nakatsu. Tampak pria pirang ini masih sibuk dengan hidungnya yang mengeluarkan cairan kental yang menjijikkan. “srooott…srooottt”

“ahaha… lihat!” bukannya membantu, tawa Mizuki malah meledak. Nakatsu mengembungkan pipinya. Ia kesal ditertawakan. Ditambah lagi ia sangat menyesalkan kegagalan ciuman pertama mereka.

“ka-kau! Berikan tissue itu. Aduuhhh…” tangan Nakatsu melambai-lambai mengisyaratkan Mizuki agar mendekat dan menyerahkan tissue yang digenggam Mizuki. Nakatsu tampak kewalahan dengan cairan yang terus mengalir dari kedua lubang hidungnya.

“ahahaha… iyaa.. iyaaa.. ini!” Mizuki mendekat, masih dalam keadaan tertawa. Ia mengulurkan tangannya dengan ragu. Sesegera mungkin Nakatsu meraih tissue itu. Lalu disekanya cairan tersebut hingga benar-benar menghilang. Tawa Mizuki mereda, ia lalu tersenyum dan memperhatikan kekasihnya dengan tatapan kasihan.

“maaf.. heheh..” Mizuki menghibur Nakatsu yang telah selesai dari ‘aktivitas’ nya. “ayo pulang, flumu bisa makin parah.” Tambahnya.

“ng.. maaf Mizuki, aku mengacaukan semuanya. Aku terlalu kikuk. Hahaha… bodoh ya.” Nakatsu merasa ia harus meminta maaf atas kekonyolannya tadi. ”baiklah! Kita ulangi lagi!” tambahnya bersemangat.

Belum sempat Mizuki menjawab, Nakatsu menarik tubuh mungil Mizuki dan mendekatkannya dengan tubuhnya. Sontak Mizuki terkejut. Nakatsu mengulangi apa yang hampir berhasil tadi. Ia menatap sebentar mata Mizuki yang penuh tanya ‘apa-kau-serius-Nakatsu?’ semakin dekat, wajah mereka hanya berjarak beberapa inchi saja. Mizuki yang akhirnya paham, mulai memejamkan matanya. Kedua tangannya kini sedang merangkul Nakatsu. Nakatsu melanjutkannya. Ia menarik pelan wajah Mizuki.

Yaaakk, berhasil! Mereka berciuman untuk pertama kalinya. Nakatsu merapatkan bibirnya dan bibir kekasihnya yang dingin itu. Tak lama berlangsung, Nakatsu yang kikuk melepaskan ciumannya. Ia memberi kelonggaran untuknya dan Mizuki menghirup oksigen. Lalu dipeluknya lagi tubuh mungil kekasihnya itu dengan kilat. Hingga, Nakatsu melepaskan pelukan itu. Ia menatap kekasihnya dan terlihat ia menyunggingkan senyuman pada kekasihnya. Mizuki membalas senyuman Nakatsu. Sangat jelas, mata Mizuki yang tampak berkaca-kaca karena terharu.

“maaf..” Nakatsu melontarkan kata itu. “apa ini salah? Aku mencoba memperbaiki yang tadi dan yaahh untuk romantis, Mizuki. hehe..” kata-kata Nakatsu kali ini berhasil melukis tawa yang memperlihatkan gigi putih Mizuki. Melihat respon baik Mizuki, Nakatsu pun memberi isyarat ‘ayo-saatnya-pulang‘ dengan mengedipkan sebelah matanya.

“yaa.. hahaha..” Mizuki menyambutnya dengan tawa. Lalu diraihnya tangan Nakatsu yang tengah bersembunyi dari saku jaket dan mulai bergelayut manja pada lengan kekasihnya itu. “ayooo!” Mizuki sangat bersemangat. Ia tampak sangat bahagia.

“aku takkan peduli orang-orang yang melihat kita. Aku tidak mungkin malu. Hahaha…” kalimat yang dilontarkan Nakatsu meledakkan tawa mereka berdua. Berangsur-angsur bayangan mereka menghilang dari Menara Tokyo. Dan ketika itu jua, salju mulai turun dengan indahnya. Tak lama kota Tokyo dipenuhi oleh salju-salju lebat yang putih dan lembut. Tapi, sangatlah indah jika dilihat dari atas Menara Tokyo. Senyuman itu merekah bersamaan saat dua pasang mata kekasih ini mengamati salju itu dalam perjalanan pulangnya.

======

Fict End…. :D
Please leave any comments. Hehehe… XD

0 comments: