Sunday, October 7, 2012

#15. Story: Lapangan Senja


SENJA
Cerita sebelumnya banyak yang kurevisi.. hehehe... ini yang terbaru, selamat menikmati. Tolong dikomentari yah.. soalnya minat nulis saya makin menurun, inspirasi juga sering hilang-muncul-hilang-muncul gak jelas. ==a

ooOoo

“Aiiiii... pulang sekolah, jalan yuk?” suara berisik gadis berambut kepang bernama Ayu membuyarkan lamunan sahabat kecilnya.

“hmm.. ke mana?” gadis bernama Ai itu meresponnya singkat.

“ke mana saja.. aku bosan dengan kehidupan yang gini-gini aja..” Ayu menghela nafas yang panjang. Berlebihan.

“yaudah, mati aja..” sindir Dian terkekeh yang baru saja bergabung dengan Ai dan Ayu. Langsung saja tangan mungil Ayu mendarat di bahu Dian, mereka akhirnya kejar-kejaran. Sedang Ai hanya tersenyum melihat tingkah kekanak-kanakan mereka.

ooOoo

“jadi, kita mau ke mana?” tanya Ai malas. Sepertinya ia benar-benar tidak berminat untuk menghibur diri.

“hmmm.. ke mana yah.. Dian, ada usul?” bocah berambut kepang ini malah balik tanya. Membuat Ai menatapnya malas.

“entahlah..” Dian menggeleng pasrah. Nafasnya berat.

“Hei hei bukannya tadi kau yang mengusulkan untuk jalan?” ketus Ai. “Payah. Kalau begitu, aku yang putuskan, tapi tempat ini tak seperti yang kalian biasa kunjungi. Tak apa kan?” sambungnya tiba-tiba. Sepertinya ia baru saja memikirkan suatu tempat menyenangkan, raut wajahnya sumringah.

“eh? Apa-apaan, mending gak usah.” ketus Ayu sesegera mungkin.

“yeeep, bener kata Ayu. Ng, mending kita jalan ke mall, bagaimana? Hihihi..”

“mall? Membosankan. Jadi, kalian menolak usulanku?”

Ayu dan Dian serempak mengangguk kuat.

“Ya udah, bye..” Ai melambaikan tangan sambil berjalan meninggalkan kedua temannya. Tampak ia tersenyum diam-diam. “akhirnya terbebas dari mereka.” Ia menggumam dalam senyumannya.

Tak sadar kini langkah gadis bernama Ai ini membawanya ke suatu tempat yang sempat ia usulkan pada kedua temannya tadi. Pandangannya berkeliling sebentar.

“Kakiku memang tepat memilih tempat ini. Tempat yang akan sangat terlihat indah saat senja tiba. Aku selalu ke sini tiap hatiku ingin.” ia kembali melihat sekeliling.

“eh? maaf.. kau..” Ai terkejut mendapati seorang pria yang mungkin sebayanya juga menikmati pemandangan sekitar tempat favoritnya ini. Ia duduk dengan menatap langit.

“ah, iya..” mungkin terkejut, pria yang dimaksud segera berdiri dan menyambut Ai.

Ia tersenyum pada gadis ini.

“maaf.. nama tempat ini, apa ya?” tanya pria itu memulai pembicaraan.

“eh? nama?” raut wajah Ai berubah heran, salah satu alisnya refleks terangkat .

“ya, nama.. pasti ada namanya kan? Haha..” pria ini tertawa kecil.

“hmm.. lapangan senja. Mungkin?” Jawabku asal. Ini nama yang kubuat sendiri.

“Eh? Nama yang aneh..” ia mengalihkan pandangannya. Menatap langit lagi, kali ini dengan tatapan kosong.

“aneh?” mata Ai tampak membulat, agak kesal nama pemberiannya barusan dianggap aneh oleh pria asing ini.

“hahaha.. ekspresimu lucu..” pria ini melirik ekspresi Ai lalu menertawakannya. Sedikit menyebalkan.

“huh, itu karena kalau senja datang, tempat ini akan sangat terlihat berbeda. Jika kau menikmatinya, kau akan merasa bahwa hidup ini benar-benar istimewa.”

Hening

Pria itu tampak menatapnya lekat. Sepertinya ia menyimak filosofi nama “Lapangan Senja” yang baru saja dijelaskan Ai.

“ada apa?” Ai memiringkan kepalanya, balas menatap pria itu.

Hening

Text Kutipan 

“hei ada apa?” kali ini ia melambaikan tangannya dengan tempo cepat dihadapan wajah pria itu.

“ke-kenapa melihatku seperti itu? Membuatku salah tingkah saja.”

“eh.. maaf.” Bola mata pria itu akhirnya berpindah, mungkin menyadari sikapnya barusan. Dengan segera ia memalingkan pandangannya.

“ah, baiklah.. a-aku permisi dulu..” pria itu membungkukkan tubuhnya sedikit lalu langsung saja berlari meninggalkan gadis yang baru saja ia buat salah tingkah.

Ai berbalik, memandangi punggungnya yang semakin menjauh.

“Ai, dia memang gadis bodoh yang lemah.” Gumam pria itu. Bibirnya terangkat membentuk senyuman kecil.

ooOoo

Hari berikutnya datang. Ai melihat pria asing itu kembali datang ke Lapangan Senja. Pria itu memakai baju yang sama, yang kebetulan merupakan warna baju favorit gadis ini.

“kau datang lagi..”

“ah, seperti yang kau lihat.” Pria itu sedikit terkejut dengan suara Ai yang tiba-tiba membuyarkan pikirannya.

“kau juga suka tempat ini?” tampak jelas wajah penasaran Ai terhadap pria ini. Sepertinya naluri detektifnya sedang mencoba untuk menggelitik rasa ingin tahunya.

“sangat, ini karena seseorang.” Pria itu melirik ke arah Ai kemudian tersenyum.

“eh? Memangnya ada seseorang lagi yang tahu tempat ini?” tanya Ai lagi menyelidik. Matanya menyipitkan mata, benar-benar ingin tahu.

“Ya. Dia bilang padaku, tempat ini akan terlihat sangat indah jika senja tiba.” Pria itu tersenyum lalu membaringkan tubuhnya di lapangan ini. Pandangannya tetap pada satu titik. Langit.

“bukannya itu aku? Payah.” Gumam Ai kesal.

“hahaha...” tawa pria itu meledak. “dasar bodoh.” Celetuk pria itu.

“hei kau siapa? Berani berpendapat tentangku, hah?” gadis ini melotot kesal. “kau tidak mengenalku!!”

Pria itu masih tertawa.

“tidak ada yang lucu! Bodoh!” kini Ai benar-benar geram. Tatapannya tajam seolah ingin mencincang habis pria di sampingnya ini.

“wah wah, kau marah?” respon pria ini, masih sedikit terkekeh.

“hmm.. aku sudah lama tidak melihat raut wajah ini.” Lanjut pria itu. Tiba-tiba ia bangkit dan memegang wajah gadis itu. Kembali tersenyum melihat raut wajah Ai yang berubah salah tingkah dan memerah.

“a-apa yang kau lakukan!” dengan segera Ai menepis tangan pria asing ini. “kau benar-benar tidak sopan. Merusak moodku saja.” Lanjutnya kesal, sangat kesal.

“ah, maaf. Aku terlalu merindukanmu.” Tiba-tiba wajah pria itu berubah serius. Matanya tampak berkaca-kaca. Ia mengalihkan pandangannya lagi.

Ai terdiam kaku, memperhatikan wajah pria itu, raut yang ia pancarkan. Tampak seperti seseorang yang terluka, bukan fisik, melainkan batinnya. Bibir pria itu bergetar, seolah menahan bibir itu untuk berbicara lebih jauh lagi tentangnya, tentang apa yang ia rasakan. Senyuman yang selalu pria itu perlihatkan seperti senyuman bahagia atas kerinduan yang sedikit terobati. Tawanya juga, ia tertawa padahal ada beberapa luka disisinya.

Pandangan Ai sedikit mengabur. Air matanya tak terbendung lagi. Tetesan air itu mengalir di pipinya, tanpa sebab yang pasti. Ia menangis karena pria asing ini. Karena raut yang terpancarkan dari pria ini.

Ai tersadar kembali setelah merasakan ada yang hangat pada pipinya. Rupanya pria ini sedang menhapus butiran-butiran jernih itu daari pipinya.

“haha..” pria ini tertawa, walau sedikit dipaksakan. “kenapa menangis? Aku datang bukan untuk melihat raut wajah ini. Aku benci melihatnya. Jadi, tertawalah atau jika kau ingin marah, marahlah, tidak apa.” Suara pria ini bergetar. Tanpa ia sadari mungkin, butiran jernih itu juga telah menghiasi pipinya. Ai masih mematung melihat pria ini. Ia merasakan ada yang aneh pada dirinya. Sepertinya luka yang dirasakan pria itu sedang mencoba merasukinya, coba melukainya juga.

Sepertinya akal sehat gadis itu sudah habis, tangan mungilnya terangkat. Ia menghapus air mata pria itu. Seolah tak ingin air mata ini merusak tawa dan senyum yang sesekali terpancar dari wajah pria ini. Pria ini terdiam dan menatap gadis di hadapannya ini dengan lekat. Raut kerinduan dan rasa sayang yang membludak terpancar jelas dari tatapan pria asing itu.

“kau sendiri menangis. A-ada apa sebenarnya?” Ai mencoba menetralkan kembali pikirannya, tak ingin hanyut lebih jauh oleh tatapan pria yang baru dua kali ditemuinya. “a-apa kau mengenalku? Atau mungkin, aku mengingatkanmu pada seseorang?” tanya Ai semakin dirasuki rasa penasaran.

‘pria misterius ini kenapa bisa membuatku merasakan perasaan yang sepertinya sangat menyakitkan? Ada yang terasa panas dalam tatapannya.’ gumam Ai dalam hati. Pertanyaan ini terus menari-nari dalam pikirannya.

“hmm, aku hanya diberi waktu dua hari, yang artinya ini hari terakhirku.”

“aku akan menjawab semua pertanyaanmu setelah kau mengabulkan permintaan terakhirku.” Pria ini mencoba mengganti suasana tegang tadi. “bagaimana?” ia mengedipkan sebelah matanya dan mengelus kepala Ai sedikit kasar. Pria ini tampaknya mencoba untuk membuat candaan agar suasana tadi tidak berlama-lama menghanyutkan mereka.

“eh? Walau aku orang yang paling sulit untuk menuruti kata orang, hmm.. baiklah kali ini saja. Memangnya apa yang kau inginkan?” sedikit gengsi, Ai menyetujui permintaan pria yang baru dikenalnya ini.

“sou desuka? Hahaha.. ” tindakan pria ini semakin tidak terkontrol. Dia mencubit pipi gadis di hadapannya ini.

‘apa yang dia lakukan? Dan apa yang kulakukan? Sepertinya aku sudah dihipnotis, aku tidak bisa menolak semua yang dia lakukan.’ Lagi-lagi Ai bergumam dalam hati.

“hari sudah mulai gelap, aku harus pulang. Jadi, cepat katakan permintaanmu kemudian jawab rasa ingin tahuku.” Ai tampak melirik pengatur waktu di lengannya. “sudah jam setengah tujuh petang, senja juga sudah berubah hitam.” tambahnya.

“wakatta.” Pria itu tersenyum lagi.

Ai menyadari ada yang aneh dengan cara pria ini berbicara, logatnya tak biasa. Ia juga sesekali merespon dengan bahasa asing, tepatnya bahasa Jepang. Raut wajah Ai menyelidik, tampak matanya mengamati tubuh pria dihadapannya ini dari ujung kaki hingga ujung kepalanya.

“Kau orang Jepang, kan?” celetuk Ai berusaha mencari tahu. “tubuhmu cukup tinggi, kulitmu putih, sudah dua kali menggunakan bahasa Jepang dan kemarin sebelum pergi, kau juga membungkuk sedikit padaku, ini etika di Jepang, bukan?”

“Sou.” Responnya singkat. “aku lahir dan besar di Jepang, tapi karena seseorang, aku belajar bahasa negara ini dan datang ke tempat ini.” Lagi-lagi sesimpul senyuman tipis terlukis di wajahnya.

“hmm.. sudah kuduga. Baiklah, jadi apa permintaanmu?”

Pria itu tampak memegang kedua pundak Ai. Kemudian menatap kedua bola mata hitam gadis itu. Sedang yang ditatap kini tampak kebingungan dan semburat merah berhasil memberi warna di wajahnya.

“tertawa dan tersenyumlah walaupun ada hal yang menyakitkan,”
“hadapi walau itu hal yang paling menakutkan sekalipun, jujurlah tentang apa yang ingin kau sembunyikan,”
“juga marahlah jika ada hal yang semestinya ingin kau tangisi.”
“hiduplah seperti itu. Bagaimana? Mudah, kan?” pria itu masih menatap penuh makna bola mata hitam Ai. Seolah tak ingin bola mata gadis itu menangkap objek lain selain dirinya.

Hening

“eh? Ka-kau akan membuatku tampak seperti orang gila jika melakukan itu semua.” Ai menunduk, suaranya merendah. “aku menolak. Lebih baik penasaran tentangmu daripada menjadi orang gila.”

“benarkah? Tapi sepertinya kau bisa hidup seperti itu. Aku yakin.”

“kenapa?” tanya Ai tampak serius.

“entahlah.” Untuk kesekian kalinya, pria itu mengalihkan pandangannya ke langit. “sudah mulai muncul bintang.” Dia tersenyum.

“entahlah?! Bagaimana aku percaya bahwa kau yakin aku bisa melakukan semua itu?”

“aku mengenalmu lebih dari yang kau tahu. Aku lebih memahamimu daripada dirimu sendiri. Jadi cobalah lakukan dengan tulus. Kau akan terbiasa. Dan aku akan hidup tenang.”

Hening

“hi-hidup tenang? Si-siapa kau?” suara Ai bergetar, tiba-tiba rasa takut menggerogotinya karena mendengar perkataan terakhir pria asing ini.

“namaku Tegoshi.”

“ke-kenapa kau melakukan ini pa-padaku?” suara Ai masih terdengar bergetar.

“aku akan menjawabnya lalu pergi jika kau janji akan melakukan permintaanku. Bukankah kita sudah sepakat tadi? Jangan takut.” Ia tersenyum dan memegang pundak Ai lembut.

Hening

Kini pikiran gadis itu sangat kacau. Perasaannya bercampur aduk. Bola matanya menyiratkan bahwa pemiliknya sedang berpikir keras akan sesuatu. Mungkin bingung, mungkin juga takut.

“ba-baiklah.” Akhirnya satu kata yang ditunggu-tunggu terlontar juga dari bibir mungil gadis ini.

Pria itu refleks menarik bahu gadis tersebut untuk didekapnya erat. Terdengar bisikan ‘terimakasih’ yang terlontar dari pria itu dalam pelukan sepihak ini. Pria itu melepaskan dekapannya lalu tersenyum lebar. Ai mematung dengan matanya yang masih membelalak atas kejadian yang baru saja terjadi.

‘di-dia memelukku? Dan ak-aku diam sa-saja?!’ kalimat ini berputar-putar dalam kepala Ai. Ai tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha menetralkan pikirannya kembali.

“hmm.. baiklah, jadi apa yang ingin kau tahu dariku?” sang pria melontarkan pertanyaan.

“bukankah kau memahamiku lebih dari diriku sendiri? Harusnya kau juga tahu apa yang semestinya kau jelaskan padaku untuk memusnahkan rasa ingin tahuku.”

“haha.. baiklah.. hmm, namaku Tegoshi Moka.”

“lalu?”

“aku.. datang dari masa depan, tepatnya dari tahun 2012.”

“eh? Kau bercanda. hahaha..”

“aku mengenalmu sejak tahun 2002. Jadi, kita akan saling mengenal setahun lagi. Aku merindukanmu, jadi aku kembali ke tahun 2001 di mana kau belum tahu siapa aku.”

“apa yang kau bicarakan..” mata Ai membulat tak percaya.

“di jejaring sosial, kau selalu mengatakan bahwa kau punya satu tempat yang sangat ingin kau tunjukkan padaku. Tempat yang akan sangat terlihat indah jika senja datang. Kau bilang, kau akan merasa hidup ini sangat istimewa jika kau melihatnya. Kau sangat menyukainya.”

“kau juga bilang ingin bicara banyak hal padaku. Jadi, kau tidak tahu, kan? Aku belajar mati-matian bahasa negaramu, yah agar kau tidak kesulitan menggunakan bahasa dunia untuk menyusun kalimat-kalimat yang sangat ingin kau ceritakan padaku. Dan juga berharap aku bisa meresponmu dengan bahasa ini.”

“lima tahun setelah mengenalmu, akhirnya aku bisa datang ke negaramu, datang ke tempat ini bersamamu. Dan juga, aku bisa mendengarkan ceritamu.”

“sejak itu, aku benar-benar tahu, kau adalah gadis bodoh yang sangat mudah tersentuh dan agak cerewet, hahaha. Tapi, kau tahu kan, aku menyukai semua itu.”

“aku datang ke tahun ini karena belum terbiasa ditinggalkan olehmu. Sudah hampir satu bulan,yah aku tidak terbiasa, hidupku berantakan sejak sebulan yang lalu.”

“a-aku, meninggalkanmu? Ke-kenapa?” Ai coba memahami pelan-pelan semua kalimat yang dilontarkan pria bernama Tegoshi Moka itu.

“tidak, kau tak akan pernah meninggalkanku. Itu yang kau katakan sendiri padaku setelah beberapa tahun kita bersama. Hanya saja, sepertinya Tuhan marah padaku. Dia mengambilmu di saat aku lengah terhadapmu.” Pandangan pria itu mengabur, sepertinya bendungan butiran jernih itu akan meledak. Sebentar lagi.

“ini semua salahku. A-aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tidak pernah tahu, ada hal penting yang kau sembunyikan. Huh, rupanya kau sangat ahli menyembunyikannya bahkan dari diriku sekalipun.”

“jadi aku mohon, mungkin permintaanku yang tadi tidak akan mengubah banyak hal tapi tetap saja aku berharap permintaan itu bisa melawan takdir.”

“tertawa dan tersenyumlah walaupun ada hal yang menyakitkan,”
“hadapi walau itu hal yang paling menakutkan sekalipun, jujurlah tentang apa yang ingin kau sembunyikan,”
“juga marahlah jika ada hal yang semestinya ingin kau tangisi.”

“sudah waktunya kau pulang. Aku tidak ingin kau melihatku menangis lagi seperti orang bodoh. Dan juga aku harus kembali ke masa di mana aku sudah tidak bisa melihatmu lagi. Hahaha.. aku akan coba membiasakan diri tanpa kau.”

Ai hanya diam. Pikirannya kembali kacau, ia benar-benar bingung. Rasanya sulit menerima semua yang dikatakan Tegoshi dengan akal sehatnya. Namun, sangat jelas matanya tampak berkaca-kaca, menahan tangis. Bagaikan mimpi dapat mendengar sebuah cerita yang entah membahagiakan atau menyakitkan tentang kehidupannya yang akan datang. Bahkan tentang bagaimana dan kapan ia akan meninggalkan hidupnya. Benar-benar ironis.

‘benarkah semua yang orang ini katakan? Benarkah dia pria yang akan kucintai? Lalu bagaimana aku harus menjalani hidupku sekarang?’

“jangan takut. Jangan menangis, kau sudah berjanji untuk melakukan permintaanku.” Pria itu menghapus kembali air mata yang ternyata sudah mengalir pelan di wajah gadis yang ia cintai ini. Ai memejamkan matanya, ia dapat merasakan tangan pria itu lembut menyentuh wajahnya, merasakan bahwa orang ini benar-benar nyata, bukan halusinasi.

Pria itu mendekatkan wajahnya ke wajah gadis yang benar-benar sangat ia rindukan. Coba menyatukan perasaan keduanya dalam ciuman yang lembut. Ai terkejut namun raganya tak dapat menolak. Ketulusan yang terpancar dari sorot mata pria bernama Tegoshi Moka ini dapat membuatnya mematung kaku. Ketulusan itu dapat menyentuh perasaannya.

ooOoo

tok-tok-tok

“Ai, ayah sudah pulang. Hasil pemeriksaanmu sudah keluar, ayah ingin bicara nak. Kau belum tidur, kan?” suara teriakan ibu Ai berhasil menghentikan imajinasi Ai yang masih sedang berpikir keras tentang apa yang baru saja ia alami dua jam yang lalu. Kini ia berada di kamarnya walau pikirannya masih ada di Lapangan Senja tempatnya bertemu dengan Tegoshi Moka dan tahu hal ajaib tentang kehidupannya di masa yang akan datang.

“i-iya ma.” Sahut Ai dari dalam kamarnya.

Beberapa menit kemudian, Ai keluar dari kamarnya dan tampak lemas menuju ruang tamu tempat di mana ayahnya menunggu.

“jadi, apa hasilnya, Yah?” suara Ai mengejutkan ayah dan ibunya yang sepertinya sedang mendiskusikan sesuatu.

Raut wajah kedua orangtuanya aneh, terutama ayahnya.

“stadium awal”

“eh? Apanya?” Ai menatap serius wajah ibunya sedang ibunya menatap takut pada ayahnya. Seolah memberi isyarat pada sang ayah.

“ibu melarang ayah untuk tidak memberi tahumu, tapi sepertinya kau sudah cukup dewasa untuk mengatasi masalahmu.”

“eh? Ada apa? Katakan saja.”

“walau masih stadium awal, mulai sekarang kau harus lebih banyak beristirahat. Ka-kata dokter..., ini kanker darah atau biasa dikatakan leukimia.”

“leukimia?” mata gadis ini membelalak, berita apa lagi ini.

“AYAH!!!” sontak ibu Ai berteriak. Dia lalu berdiri meninggalkan suami juga anaknya yang masih terkejut hebat. Terdengar suara pintu kamar yang dibantingnya kuat.

Sang ayah mendekati gadisnya dan menepuk pundaknya lembut, lalu meninggalkan gadis itu sendirian. Ia pikir, anak ini butuh waktu untuk sendiri, memikirkan masalah besar yang ada di depan matanya.

ooOoo

“sangat sulit disembuhkan. Banyak kasus yang berakhir dengan kematian.” Ai menatap nanar tulisan yang tertera di layar laptopnya. Menggelikan, rasanya ia ingin tertawa karena tidak percaya penyakit mengerikan ini memilihnya.

“tidak, kau tak akan pernah meninggalkanku. Itu yang kau katakan sendiri padaku setelah beberapa tahun kita bersama. Hanya saja, sepertinya Tuhan marah padaku. Dia mengambilmu di saat aku lengah terhadapmu.”

“ini semua salahku. A-aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku tidak pernah tahu, ada hal penting yang kau sembunyikan. Huh, rupanya kau sangat ahli menyembunyikannya bahkan dari diriku sekalipun.”

Tiba-tiba saja, pernyataan dari pria bernama Tegoshi tadi melintasi kepalanya.

‘apakah hal penting yang kusembunyikan adalah penyakit ini?’

“tertawa dan tersenyumlah walaupun ada hal yang menyakitkan,”
“hadapi walau itu hal yang paling menakutkan sekalipun, jujurlah tentang apa yang ingin kau sembunyikan,”
“juga marahlah jika ada hal yang semestinya ingin kau tangisi.”

“jadi aku mohon, mungkin permintaanku yang tadi tidak akan mengubah banyak hal tapi tetap saja aku berharap permintaan itu bisa melawan takdir.”

‘ja-jadi, ini maksudnya ia meminta permintaan yang seperti itu?’ Jangan menyembunyikan ini darinya..’
Butiran jernih itu mengalir deras melewati pipinya. Dengan menunduk dan memeluk erat kedua lututnya, ia coba menahan air mata itu. Suara tangisanpun ingin diledakkan di dalam hati saja, tak boleh ia keluarkan. Bukankah ia telah berjanji pada pria yang akan dicintainya?

ooOoo

endiiiiiiiiiiiiiiiingggggggggg... ><
 
Text full post

0 comments: