Sunday, January 15, 2012

#12. Story: Confused

Well, kali ini, aku nulis cerita-gak-jelas lagi. XD

---

Ehem..
Untuk kesekian kalinya, ibu menyuruhku membeli mie instant yang tokonya tak jauh dari rumah kami. Jujur, aku memiliki penyakit malas yang akut dan sudah stadium akhir. Tapi aku tak punya pilihan selain pergi. Itu karena jurus andalan ibu yg mampu membuatku tak berkutik, yaah beliau mengancam tak memberi uang jajan komik lagi untukku.

Aku berjalan dengan malasnya, oh ya ini sudah malam hari. Tepatnya jam 8 malam. Tiba-tiba aku melihat ada segerombolan pria yg kuduga seusiaku sedang bersenda gurau dengan asiknya. Ada yang merokok ada juga yang sibuk dgn handphone dan PSnya. Aku cukup terkejut dan sedikit takut. Kupercepat langkahku melewati mereka.

---

Setelah membayar mie instant yg kubeli, aku berhenti sejenak. Aku memikirkan cara lain untuk melewati gerombolan pria itu. Karena tadi saat melewati mereka, aku mendengar dengan samar ada suara laki-laki yang memanggilku. Itu membuatku takut.

Tapi malangnya tak ada jalanan lain yg bisa kutempuh. Ah, aku pasti bisa melewati mereka. Jika mereka menahanku, tak ada cara lain, akan kugunakan jurus karate andalanku. Biarlah mereka semua berakhir di rumah sakit!

Aku menarik nafas yg kuat dan mulai melangkah dengan berani.

Itu dia. Ayo, Ai! Jalan saja!

"Hei, kau rambut berkuncir! Berhenti sebentar." Suara yang sama dengan yang tadi. Aku mempercepat langkahku.

Tiba-tiba aku merasakan tangan yang cukup hangat menahan lenganku. Sekejap saja aku berbalik dan menepisnya. Kutatap pria itu dengan kesal. Dia malah tersenyum dan membuang rokok yang sedari tadi digenggamnya.

"Tidak sopan!" Teriakku. Ia tersenyum. Beberapa temannya datang menghampiri kami. Satu, dua dan tiga. Hah, mereka seolah mengepungku. Aku menghela nafas dengan kuat.

"Huft, Oke, kalian yang minta." Aku mundur dua langkah dan menyiapkan ancang-ancang. Pegangan kantung mie instant kumasukkan ke pergelangan tanganku. Kuambil sikap awal untuk jurus tendangan melayang. Sekali lagi, aku menarik nafas dengan kuat.

Raut wajah keempat pria itu berubah. Entah takut atau meremehkan.

"Pfft.. Hei, apa yang kau lakukan? Hahahaha.." Pria yang menahan lenganku itu tertawa. Tiga temannya ikut-ikutan. Ng? Kurang ajar! Aku tetap mempertahankan sikap ancang-ancangku.

"Hei, hei.. Aku hanya ingin minta nomor handphonemu. Itu saja." Ucapnya santai. Temannya ikut-ikutan angkat bicara.

"Iya tuh. Gak apa-apa dong?" Bahasa mereka sok akrab. Menggelikan.

"Untuk apa? Menelpon? SMS? Atau menyantetku? Aku tidak tertarik padamu..." Aku melirik ke tiga teman dibelakang pria berjambul yang menahanku tadi. "Padamu maupun pada kalian... Sama sekali bukan tipeku. Sudah ya! Daah!" Lanjutku, ketus. Raut wajah mereka kesal. Kuhibur dengan tersenyum tipis lalu berbalik pergi.

HENING..

"Sombong sekali. Kau pikir kami menyukaimu?" Ng? Siapa itu? Apa pria berjambul kuno itu memanggil teman lainnya? Suaranya berbeda. Aku berhenti sebentar dan kembali berbalik melihat mereka.

"Kau berkata begitu untuk jual mahal ya? Kuno!" Ah, benar! Rupanya ada yang lain. Pria tinggi dan berkacamata yg baru berbaur dengan pria berjambul dan ketiga teman yg tadi. Ia berbicara sambil asik dengan PS genggamnya. Ia bahkan tak melihat ke arahku.

"Oh ya? Aku memang kuno. Aku tak peduli. Sudahlah." Jawabku malas. Ia masih asik dengan PS-nya. Keempat temannya menatap pria berkacamata itu dengan tatapan heran.

Pria itu mengangkat wajahnya dan melihat ke arahku dengan tajam. "Rudy, dia gadis payah. Kau salah menyukai orang."

Mataku membulat kesal ditatap seperti itu.

"Acuhkan saja. Ayo, kembali." Tambahnya, lalu berbalik pergi meninggalkan keempat temannya juga aku yg masih diam seolah membeku atas perkataannya. Ia kembali memainkan PS genggamnya.

Kuakui, itu cukup menyakitkan. Dia bahkan belum mengenalku tapi berani berpendapat tentangku.

Temannya menghela nafas pelan dan ikut berbalik pergi meninggalkanku, termasuk pria berjambul yang pasti bernama Rudy itu.

"Tunggu!!" Teriakku yang sekejap menghentikan langkah Rudy dan ketiga temannya. Tapi tidak untuk pria berkacamata itu.

"Kau pikir kau siapa? Apa kau hebat hingga berani menyebutku payah? Apa salah, jika aku jual mahal? Hah? BODOH!!" Teriakku kesal. Rudy dan ketiga temannya menatapku tak percaya. Aku tak peduli. Aku sungguh kesal.

"Sudahlah. Pulang sana. Aku tak minat untuk berdebat denganmu." Pria berkacamata itu melihatku dengan tatapan acuh dan mengusirku dengan tangannya.

"He-he-i, sudahlah. Kau kelewatan, Teguh." Celetuk Rudy. Ketiga teman lainnya memasang raut wajah prihatin.

HAH! Aku tak tahan lagi! Aku berjalan cepat ke arahnya dan bersiap menghajar wajahnya.

BUUKK..

Berhasil! Aku meninju pipinya. Ia tersungkur. Kacamatanya bengkok dan PS-nya terlempar. Keempat temannya berhambur menghampiri pria berkacamata itu. Aku tersenyum puas. Tepatnya menyeringai.

"Hei, Teguh atau apapun namamu! Mulutmu kasar dan menyebalkan! Itu hukumanmu! HAHAHA." Ucapku puas.

Dia menatapku kemudian tersenyum. Eh? Tersenyum?
Eh? Kenapa tersenyum? Ada apa dgn orang ini?

"Oke. Selamat tinggal!" Aku bersikap acuh dan berbalik pergi meninggalkan mereka dengan perasaan puas. Tapi, tunggu. Mengapa tadi ia tersenyum?

---


Bulan Ramadhan tiba. Seperti kegiatan wajib dan rutin sebelumnya, aku sangat rajin untuk sholat Tarawih di masjid dekat rumahku. Aku pergi tarawih jika bukan sendirian, aku bersama adikku.

"Cepatlah, Anggi! Sudah mau shalat Isya tuh!" Panggilku pada adikku yg selalu membuatku menunggunya. Agak menyebalkan.

"Iya, bawel! Tunggu sebentar." Hah, dia benar-benar cari masalah denganku. Tapi.. Huft, ini ujian berat menahan amarahku di bulan suci ini. Oke, Nggi, kau selamat kali ini!

---

Angin malam itu berhembus kencang. Cukup mampu mengibarkan mukena yg kami pakai. Hmm.. Kencang sekali. Ah, mau hujan. Tidak ada bintang. Aku melirik ke Anggi, ternyata ia juga menyadari angin kencang ini. Ia juga melihat langit.

"Ayo lari. Mau hujan deras." Anggi angkat bicara. Sudah kuduga. Ia punya pikiran yg sama denganku.

Aku hanya menggeleng tanda menolak. Ia menatapku heran dan tanpa bertanya untuk kedua kalinya, ia berlari sendiri meninggalkanku. Tepat ia berlari, aku merasakan ada tetesan-tetesan air yg mengenai tanganku, wajahku dan punggung kakiku. Gerimis.

"Ayo, Kak! Sudah mengaji tuh masjidnya, sudah mau adzan." Aku tetap menolak lari. Yaa, karena aku tak bisa menghindari hujan. Aku sangat menyukai hujan. Dan walaupun menghindar sekarang, tetesan air hujan itu pasti tetap mengenaiku. Menurutmu siapa yg bisa menghindari hujan tanpa kena setetespun? Hmm..

Aku berpikir sebentar. Lama kelamaan tetesan air itu semakin banyak dan deras. Aku jadi agak panik. Panik karena memikirkan mukena yg sementara kukenakan. Aku memutuskan untuk berteduh sebentar. Aku melihat sekeliling. Agak menyesal. Mengapa tadi aku tak mengikuti saran Anggi? Hujan terlalu deras hingga suara dari masjid samar terdengar. Hahh.. Aku mengendus dengan kesal.

Ada yg punya payung? Aku harus ke masjid sekarang! Aku mulai panik. Kulihat orang-orang yg ikut berteduh. Ng?

EH? Bukankah itu pria yg waktu itu? Pria yg pipinya kuhajar hingga tersungkur. Tapi, apa benar? Dia terlihat berbeda.

Dengan baju kokohnya juga peci menyelubungi rambutnya, membuatnya terlihat seperti bukan orang yg berkata kasar padaku waktu itu. Wajahnya tampak panik dan sesekali melirik jam tangannya. Dan eh, sekarang ia merogoh sakunya. Oh, ia mengambil handphone dan menelpon seseorang.

Aku mendekat, tak ada rasa takut lagi. Dia sudah kuhajar, itu artinya aku lebih kuat darinya.

"Tio, tolong bawakan kakak payung ke sini. Tempat orang banyak berteduh, masih sekitar dekat rumah. Cepat ya." Aku tak sengaja mendengar dengan jelas percakapannya karena posisiku sekarang hanya berjarak dua jengkal tangan darinya.

Sesekali aku meliriknya, ingin menyapa tapi rada kikuk. Aku sadar, kami bukan teman. Dia.. Dia bahkan tak melihatku. Tak melihat orang-orang disekelilingnya. Kepalanya terus menghadap ke depan. Menikmati hujan dengan kening berkerut.

"Ah, Tio! Sini, cepaat.." Ia melambai pada seseorang. Eh, tepatnya anak kecil. Hm? Siapa dia? Ojek payung? Anak itu menggenggam sebuah payung yg belum terbuka dan payung yg sementara ia kenakan.

"Maaf lama, Kak Teguh. Ini payungnya." Anak itu memberinya payung. Pria berkacamata itu hanya tersenyum.

"Oke, pulanglah. Maaf, merepotkan yah." Ucapnya lembut.

"Tak apalah, Kak. Dekat kok. Oke, dah!" Anak kecil itu berlari. Tampak terburu-buru.

Aku melihat ke arah kakak dari anak kecil itu. Dia tampak tersenyum. Dia membuka payung itu dengan semangat. Dan bersiap-siap pergi dari tempat berteduh.

Eh? Tunggu.. Boleh aku ikut? Huaah.. Ingin sekali aku menahannya pergi. Tapi, tidak mungkin. Hubungan kami sangat buruk. Aku menatap lesu hujan.

"Ayo, pergi." Celetuk pria bernama Teguh itu. "Mau tidak? Ke masjid kan? Ayo!" Aku melihatnya. Dia menatapku dengan wajah cueknya. Oh, rupanya ia berbicara denganku. Tak ada pilihan, aku mengangguk.

Huft, walaupun aku agak kesal karena cara mengajaknya yg tidak manis.

Kami berjalan bersama dengan jarak yang harus berdekatan di bawah sebuah payung. Aku agak gugup karena ini pertama kalinya bagiku. Selama perjalanan aku berusaha memberi celah jarak antara kami. Tapi, karena terlalu jauh, aku hampir tertabrak mobil yang lewat juga terpeleset ke selokan. Dan malangnya, ia bukannya menolongku, melainkan menertawakanku.

Sesampai di masjid, belum sempat aku mengucap terima kasih, ia segera berhambur ke dalam masjid. Berlari seperti anak sekolah yang terlambat. Ada apa dengannya? Aneh.

Aku melangkahkan kaki ke dalam masjid dan menuju tempat sholat wanita di lantai dua. Dari sini terlihat imam dan jamaah pria yang sholat di lantai satu. Aku melihat sekeliling dan mendapati Anggi yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu.

"Anggi.." Sapaku.

"Eh? Kak, lama sekali kau. Sudah mau adzan tuh.." Aku hanya tersenyum.

Tiba-tiba suara adzan berkumandang. Aku melihat siapa yang mengumandangkan adzan. Eh? Mataku membulat tak percaya.
"Eh, Teguh? Benarkah?" gumamku dalam hati. Benar-benar tak percaya melihat pria yang omongannya kasar itu bisa mengumandangkan adzan dengan khusyuknya.

"Kak Ai! Ayo ke sini." Teriakan Anggi mengagetkanku.

---

Shalat Tarawih telah selesai. Aku & adikku, Anggi hanya mngambil 8 rakaat. Saat hendak pulang, entah mengapa mata ini melirik ke arah jamaah pria yang dibawah. Mata ini juga menyapu pandangan sekitar dan mencari sosok pria yang tadi mengumandangkan adzan.

Sesuai dugaan, dia masih ada di sana. Berdiri di barisan terdepan sedang shalat untuk rakaat ke-9. Wah!

Sejak itu, penilaianku tentang anak itu berbeda. Tepatnya, berubah 180 derajat. Dia... Menakjubkan.

---

Pertengahan bulan Ramadhan, aku dan Anggi memiliki kegiatan rutin untuk shalat Tarawih hingga selesai dan mengambil shalat Witir di masjid.

Jam menunjukkan pukul 21.45, semua jamaah telah bubar. Mataku kembali melirik ke jamaah pria. Ah, dia selalu ada. Kagumku semakin menyeruak.

"Kak Ai! Ayoo.. Sudah malam! Aku ada tugas sekolah," Teriak Anggi smbil mencari-cari sendalnya.

"Kalau ada tugas, ya kau pulang duluan saja." Ketusku.

Anggi sangat hobi membuat moodku rusak.

"Oke! Huh! Wee.." Anggi mengeluarkan lidahnya. Oh, dia melakukan triknya, rupanya berusaha memancingku agar mengejarnya. Haha.. Aku tak tertarik.

Aku memandangi punggung Anggi yang tengah berlari hingga benar-benar menghilang. Adik yang menyebalkan.

Tiba-tiba segerombolan jamaah pria yang mayoritas orangtua itu keluar dari sarangnya. Diantara mereka terselip seorang pemuda berkacamata yg belakangan ini kukagumi.

Aku tahu, pria itu melihatku. Kami sempat bertemu pandang walau hanya sekilas. Tapi, lihat responnya! Dia berjalan melewatiku seolah tak mengenalku. Itu membuatku geram.

GRUGRU..

Eh, Guntur! *gak mirip suara guntur ya? XD*

Aku melihat langit, memang... tak ada bintang.

Ssssss...

Kini gerimis yang datang. Segerombolan jamaah pria tadi tiba-tiba berpencar. Mereka mungkin khawatir akan hujan. Ada yang berlari dan ada yang menutup kepalanya dengan sajadah. Tapi entah kenapa aku tak seperti mereka. Langkahku tetap seperti ini, tenang dan biasa.

Kulihat, pria berkacamata itu juga berlari.

Akhirnya hujan. Hujan yang semakin deras. Kembali aku khawatir dengan kerudung yang kukenakan, aku berlari mencari tempat perteduhan yang bisa melindungiku dari serangan air-air langit ini.

Aku memutuskan untuk berteduh di tempatku biasa berteduh. Tempat pertama kali aku melihat pria yg kasar itu dengan pakaian yang berbeda -dengan peci dan baju kokoh yang rapi-. Aku berlari-lari dengan kerudungku yang semakin basah.

Mataku sempat melebar saat kutangkap sosok berkacamata itu juga berteduh di tempat yang sama. Lagi-lagi dia melihat hujan dengan kening yang berkerut.

"Hei." Sapaku. Aku mendekatinya dan memukul lengannya pelan. Yah, maksud hati ingin memukul bahu apa daya dia terlalu tinggi.

"Hmm.." Dia hanya bergumam.

"Ng, bisakah kau berhenti melihat hujan dengan wajah berkerut seperti itu? Jelek sekali." Celotehku berhasil membuatnya menoleh ke arahku.

"Memang kenapa? Apa kau keberatan? Wajah ini bukan milikmu, jadi apa urusanmu?" Ketusnya. Aku menghela nafas pelan, kata-katanya tajam dan menyakitkan.

"Hm, benar. Tapi, aku kasihan pada hujan. Mereka seolah beban bagimu. Apa kau pernah mendengar, hujan itu anugerah Tuhan?" Ucapku tegas.

"Pernah." Dia kembali melihat hujan. "Aku mengerutkan dahi bukan karena hujan, melainkan hal yang entah kenapa selalu kupikirkan tiap hujan datang. Aku tak bermaksud membenci anugerah Tuhan. Aku tak seberani itu, bodoh." Lanjutnya tenang dengan nada yang sdikit rendah.

"Apa yang kau pikirkan tiap hujan datang? Apakah sesuatu yang menyedihkan?" Tanyaku menyelidik.

"Kenapa kau selalu mau tahu?" Dia melihatku lagi, ke arah mataku.

"Eh? Ti-tidak.. Ya sudah, lupakan saja." Aku mengibas-ngibaskan tanganku di depannya. Terkejut dengan pertanyaannya. Memang benar, kenapa aku mau tahu?

Pria berkacamata itu mendekat. Ia bahkan sangat dekat. Wajahku memerah.

"Bagus. Karena itu bukan urusanmu, lebih baik kau pulang saja." Dia menatap mataku tajam.

"Ma-masih hujan! Kerudungku bisa basah." Kupalingkan pandanganku ke arah hujan. Salah tingkah.

"Hmm.. Biar kutebak, apa ini hanya alasanmu? Kau sengaja untuk mendekatiku, kan?" Dia kembali mengatakan hal yang tak kuduga. Matanya menatap hujan. Untung saja dia tak melihat ke arahku yang sedang bingung dan entah kenapa merasa malu dan juga.. salah tingkah.

Aku hanya meresponnya diam. Tak tahu mau bilang apa.

"Apa kau... menyukaiku?" Dia berbalik badan. Kini dia melihat lagi ke arahku. Mataku bertemu dengan bola matanya yang hitam. Degupan jantungku tiba-tiba tak terkendali.

"A-a-aku hanya kagum, tidak lebih." Jawabku jujur. Dia tersenyum. Ini pertama kalinya ia trsenyum padaku.

"Begitu rupanya. Padahal aku berharap lebih. Hahahaha.." Tiba-tiba tawanya meledak. Aku hanya diam sprti orang bodoh. Apa maksudnya?

Kemudian, pria berkacamata itu melambaikan tangan pada seseorang. Oh, adiknya lagi.

Dia mengambil payung dan merangkul adiknya. Kemudian berbalik melihatku.

"Bye. Terimakasih ya." Diapun pergi.

Aku diam. Tiba-tiba ada perasaan menyesal yang merasukiku, entah.

Jadi.. dia menyukaiku?

---
END :)


2 comments:

black_aoi said...

ini gak ada lanjutannya?? bagus kok, pengen tau endingnya gmna.. antara ai sama teguh..

Unknown said...

Hehe kan confused, jd bikin bingung emang. Haha