Saturday, December 31, 2011

#11. Story: Bad Girl

Halooo minna-san :)

New fict has released! :D

Silahkan dinikmati dan jangan lupa komentarnya ^^


Hei! Perkenalkan. Namaku Ai. Aku salah satu siswi SMA di kota ini. Aku punya teman, hanya satu. Kenapa? Ya, aku cukup apatis. Aku suka melakukan segala hal sendiri. Bagiku, mengobrol atau bercanda adalah hal konyol. Kupikir itu hanya membuang waktu. Aku sama sekali tak berminat untuk mencari teman. Tapi, takdir berkata lain. Tuhan mengutus seorang teman yang mau menerimaku apa adanya meski ia selalu kusakiti dengan ehemm.. sikap apatisku.

Aku tak pernah mau angkat bicara jika bukan hal yang harus melibatkanku, itu kebiasaanku. Dan aku suka dan selalu seperti itu. Walaupun tiap hari temanku ini sering memberi ocehan yang ia sebut sebagai nasehat. Aku tak peduli. Ya, itulah aku. Aku lebih suka bicara lewat tulisanku, aku membuat banyak akun dunia maya karena aku suka hidup di dunia maya. Entah kenapa.

Tapi, semua berubah sejak seseorang masuk di kehidupanku. Dia mulai menarik perhatianku. Awal bertemu dengannya, sama seperti yang lainnya, aku melihatnya hanya sebagai sesuatu yang tak bermakna. Sesuatu yang 'numpang lewat' tepatnya. Dia hanya orang biasa yang tak satupun dari dirinya terlihat menarik. Perawakannya tinggi dan kebanyakan diam. Aku selalu mendapatinya diam. Membosankan, sama sepertiku.


Hingga ada hari gila di mana denyut arteriku berdenyut di atas normal, detakan jantungku dapat kudengar, seluruh ekstremitasku bergetar, dan mataku tak bisa berpaling dari satu objek yang membosankan itu. Seperti apa hari itu? Ya, hari itu, dia, sosok biasa yang sama sekali tak menarik, mendapatiku sedang membaca komik di kantin sekolah. Dia menatapku dari kursi yang tak berjauhan dariku. Seolah ada sesuatu di wajahku. Tatapannya tajam dan itu membuatku kesal. Detakan jantungku mulai memburu dan terasa lebih kuat.


"Apa?" Responnya hanya diam. Kuulangi pertanyaanku. "Lihat apa kau?"


"Ng.. Boleh pinjam, komiknya?" Ya, itu kali pertama aku mendengar suaranya. Menyebalkan, ternyata hanya ingin pinjam komik saja menatapku seperti ingin meledakkan jantungku. Kutatap dia dengan tatapan membunuh.


"Tidak. Aku sedang membacanya." Aku menatapnya dengan wajah tanpa dosa. Ia menatapku lagi.


DEG!
Mataku bertemu dengan sepasang mata berwarna coklat. Mata yang memberi raut kecewa. Segera kupalingkan mataku ke komik. Tak lama, dia berdiri lalu pergi. Dia kesal? Apa peduliku.




Perkenalkan, dia, sosok yang hampir meledakkan jantungku, cukup dikenal di sekolah karena sangat pintar dan mengikuti beberapa ekskul bergengsi. Tapi cara bergaulnya membosankan, begitu kata temanku yang tiap harinya membicarakan anak itu. Temanku juga bilang bahwa banyak yang menyukainya. Bahkan aku pernah mendengar sendiri -tak sengaja- kumpulan wanita-wanita itu menceritakan bocah itu disertai beberapa decakan kagum dan teriakan histeris. Menggelikan.


"Ai! aku tahu nama anak itu. Wah, rupanya banyak yang ingin menjadi temannya. Tak seperti kau. Hahaha.."


"Banyak? Tidak salah? Apa menariknya dia?" Itu saja responku. Temanku berdecak heran, sejak kapan aku merespon ceritanya? Jujur, aku juga benci sikapku yang seperti ini, terlalu memikirkan dia, eh? Mungkin. -,-

ooOoo


Hari senin tiba, yaa hari yang memaksaku untuk membuang waktu sekitar 30 menit untuk melakukan kegiatan rutin yang membosankan. Benar, Upacara! Hahaha..

Seperti biasa, aku selalu melihat murid lain berlarian hanya untuk sekadar melewati gerbang sekolah sebelum jam 07.00. Mereka terlihat bodoh bagiku. Karena aku sendiri, yang jam datangnya tak berbeda dari mereka, entah mengapa tak pernah terlambat. Haha, jangan bilang itu sebuah keberuntungan.


Well, temanku yang ceria ini mulai melakukan hal gila. Dia menarik tanganku dan menyuruhku berbaris paling depan. Sayangnya, aku tak bisa mengelak. Kondisi fisikku memang memenuhi syarat untuk mengisi barisan terdepan. -,-


"Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara." Aku melihat dengan malas sosok yang baru saja dipersilahkan masuk itu.


DEG!
Mataku membulat tak percaya. Dia, orang yang kusebut tampak pendiam, masuk ke lapangan dengan membawa aura yang berbeda. Kupikir, orang membosankan itu takkan berani melakukan hal gila ini. Hal gila di mana dia menunjukkan dirinya, dihadapan semua orang. Aku tak bisa membayangkan jika aku juga melakukannya. Kupikir, dia sama sepertiku. Apatis, pendiam dan membosankan. Hah, ternyata dia jauh lebih bernyali dariku.


"Kepada seluruh peserta upacara.. Hormaaaat geraaak!"


Hei! Tiba-tiba tanganku bergetar pelan mendengar suara itu. Seolah ada sesuatu yang merasukiku. Suaranya kembali bagai angin lalu hebat yang membuatku sesak. Aku sempat termenung beberapa detik hingga akhirnya kuangkat tanganku untuk melakukan aba-abanya.


"Tegaaaap geraak."


Sekali lagi, suara itu membuatku panas. Serasa ingin membuatku meledak. Apa yang terjadi? Aku mohon, hentikan upacara ini. Hentikan!


Kulihat sosok yang memiliki suara itu, sikapnya tenang. Tak sedikitpun kepalanya menoleh. Ia berdiri bagai patung, matanya hanya fokus pada satu titik, yaa titik itu adalah sang pembina upacara. Dan kalian tahu apa yang kurasakan?


Apa yang kurasakan? Aku ingin sekali berteriak padanya dan menyuruhnya menghentikan upacara ini. Tapi aku tak tahu alasan apa yang akan kuberikan padanya. Aku sendiri tak mengerti.


Tigapuluh menit berakhir sudah. Menit-menit yang seolah ingin membunuhku. Huft! Kenapa aku merasakan hal bodoh seperti ini? Ada apa dengan jantungku? Kenapa sosok orang itu seolah baterai yang memberi kekuatan detak jantungku? Hei! Aku benci perasaan ini! Baiklah, satu-satunya orang tepat untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku, mungkin hanyalah temanku.


"Maaf, mengganggu, Gea, aku ingin bicara."


"Ng? Ada apa, Ai? Katakan saja." Dia membalasku dengan senyuman. Aku bahkan sulit tersenyum seperti itu.


"Hmm, kau bisa ikut aku ke perpustakaan? Kita bicara di sana." Aku langsung pergi tanpa menunggu jawabannya.


ooOoo


"Ai! Ada apa?" Gea menghampiriku. Wajahnya memasang raut penasaran.


"Begini..." Ya, aku mulai kikuk. Gea diam, menungguku melanjutkan pembicaraan ini.


"Beginii.. Ng.." Bodoh! Aku bahkan tak tahu bagaimana memulainya.


Gea memegang pundakku, lalu tersenyum. "Katakan saja, kau ada masalah? Aku akan bantu."


Hei hei, perasaanku jadi hangat seketika. Inikah rasanya punya teman? Kutatap matanya, berterimakasih dalam tatapanku. Dan seolah mengerti, dia mengangguk pelan.


Aku kembali tersadar, apa yang baru saja kulakukan? Aku tak mungkin bersikap melankolis seperti ini. Segera kuubah raut wajahku seperti biasanya. Kulepas tangannya dari pundakku.


"Okay, aku hanya ingin minta pendapatmu. Sebelum itu, kau harus memenuhi dua persyaratanku."


Dia tersenyum. "Ya?"


"Jangan menertawakanku dan katakan pendapatmu dengan jelas." Dia mengangguk.


"Okay, begini.. Hmm.. Begini, kau ingat, siapa murid yang tadi pagi jadi pemimpin upacara?"


"Hmm, ya. Dia orang yang sering kuceritakan padamu. Orang yang kau bilang juga membosankan, sama sepertimu. Haha.. Eh.." Dia menutup mulutnya, sudah kuduga itu gerakan refleks. Aku menatapnya tajam, seolah memberi isyarat 'aku akan membunuhmu'.


Dia menyadari tawanya. Bola matanya panik. "Ah, maaf.." Cetusnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.


"Baiklah, kau tak memenuhi persyaratan, hentikan pembicaraan ini. Aku pergi dulu." Segera aku menarik diri dari perpustakaan itu. Gea hanya diam. Walau, sebenarnya aku berharap ia menahanku karena masih penasaran dengan apa yang ingin kubicarakan. Tapi, tidak. Dia hanya diam.


Aku berjalan dengan cepat. Agak kesal. Kubuka pintu perpustakaan dengan kasar. Hingga seseorang entah siapa datang dari arah berlawanan, juga ingin membuka pintu perpustakaan dari luar.


DEG!
Mataku kembali bertemu dengan sepasang mata berwarna cokelat yang tak asing lagi. Aku terpaku sejenak. Hingga sosok itu tersenyum dan membungkuk pelan padaku. Aku tak meresponnya, segera aku memukul dadaku tepatnya jantungku. Berharap untuk berhenti bersikap konyol tiap melihatnya. Ayolah, jangan berdegup sekencang itu. Konyol.


Aku segera pergi tanpa membalasnya yang mungkin bisa disebut sebagai sapaan bisu kepadaku. Tentu saja bisu, dia hanya tersenyum dan menunduk.


ooOoo


"Ai! Maaf yang kemarin. -,-" Gea merangkulkan tangannya di pundakku. "Hehehe.." Dia tertawa lagi.


Aku melepas rangkulannya dan mempercepat langkahku. "Lupakan." Ketusku.


"Ah.. Aku mengerti. Ini tentang anak yang jadi pemimpin upacara kemarin, kan?" Ucapnya menghentikan langkahku.


"Kemarin, saat ingin menyusulmu keluar perpustakaan, aku melihatmu hampir bertubrukan dengan anak itu. Dan sikapmu aneh. Sama seperti waktu upacara, kau diam seperti patung. Seolah mencerna sesuatu lalu mulai bergerak. Tatapanmu padanya seperti berbeda, awalnya kupikir hanya perasaanku saja. Tapi, saat kemarin kau mengajakku bicara yang tak seperti biasanya, hal pertama yang kau tanyakan adalah anak itu. Jadi, kusimpulkan..." Gea diam sejenak. Kata-katanya sangat banyak dan panjang. Itu membuatku kesal.


"Hentikan. Aku tak mau dengar lagi." Aku kembali melangkah. Kali ini lebih cepat.


"Ai! Kau menyukainya, kan?" Suaranya terdengar bergetar, dia pasti menyusul langkahku.


"Ai! Kenapa marah? Aku akan membantumu. Aku juga tidak tertawa, kan? Ini hal yang wajar." Aku diam. Langkahku terhenti dengan kata-kata terakhirnya, 'ini wajar'.


"Baiklah, ayo kita bicarakan ini lebih lanjut di rumahku." Gea menarik tanganku, memaksaku mengikuti langkahnya.

ooOOoo


"Namanya Raka, dia kelas XI."


"Eh? Kelas XI?" Aku sedikit terkejut. Pantas saja dia membungkuk. Begitukah cara ia menghormati kakak kelasnya?


"Ya, dia adik kelas kita. Anaknya pintar dan pendiam. Tapi, bagaimana kau bisa menyukainya?" Tanya Gea penasaran.


"Entahlah. Mungkin karena caranya melihatku. Dia juga melakukan hal-hal yang tak kuduga bisa dilakukan oleh orang-orang yang terlihat suka berdiam diri sepertiku. Dia cukup bernyali."


"Wah, itu kata-kata terbanyak yang pernah keluar dari mulutmu. Pembicaraanmu rumit. Apa maksudmu? Caranya melihatmu? Hal yang tak terduga? Kau membuatku bingung, Ai." Gea menarik minuman dan kuenya.


"Bodoh!" Aku menarik paksa kuenya, kukunyah sebanyak mungkin. Gea tertawa dengan kekonyolanku.


"Aku ingin dengar kata-kata yang lebih panjang lagi darimu."


"Cerewet!"

Lima menit kemudian..

"Hmmm.. nyam nyaam." Aku masih sibuk mengunyah kue-kue yang semakin mengembungkan pipiku.


"Ayo, Ai. Cerita padaku! Kali ini aku takkan membuatmu kesal." Gea tertawa kecil sembari jari-jarinya memberi tanda 'peace'.


"Oke.. Ya, aku mungkin menyukainya." Aku mulai bercerita lagi. Semburat merah mewarnai wajahku.


"Aku tahu. Tapi apa alasannya?" Gea memasang tampang serius.


"Alasan?" Tanyaku sembari memiringkan sedikit kepalaku.


"Ya, alasan.. Apa?" Gea semakin serius.


"Apa maksudmu? Perlukah alasan? Aku tidak tahu. Yang pasti, dia selalu membuatku tidak tenang." Jawabku ketus.


"Wah, kau mencintainya, Ai. Sangat suka. Wah wah.. Ternyata orang seperti itu ya. Aku akan mencari tahu tentangnya. Kau tenang saja." Ucap Gea bersemangat. Sebelah matanya berkedip padaku.


"Entahlah. Mencari tahu? Aku bisa melakukannya bahkan lebih baik darimu. Aku tak butuh bantuanmu." Kutepuk pundak Gea yang semangatnya tiba-tiba padam. Aku tertawa kecil. Apa dia sebegitu pedulinya terhadap masalah konyolku ini?


"Tidak perlu? Memangnya kau bisa apa? Tahu identitasnya saja karena aku. Huh." Ucap Gea meremehkan.


"Hahaha.. Aku cukup ahli untuk mencari tahu tentang apa yang ingin kutahu. Jadi, untuk selanjutnya, kau tak perlu bantu mengenai hal itu. Oke." Jelasku, kembali menepuk pundaknya.


"Lalu? Apa yang bisa kulakukan?" Tawar Gea, kembali bersemangat. Sesimpul senyuman terlukis di bibirnya.


"Cari tahu tentang orang yang dia sukai."


"Pacar, maksudmu?" Tanya Gea guna memperjelas.


"Benar. Mungkin saja dia punya. Beberapa kali aku mendengar, anak itu banyak penggemarnya, siapa tahu ada satu gadis yang mampu memikatnya, kan?" Ucapku panjang lebar. Ini juga kalimat terpanjangku.


"Hm.. Oke. Tapi, jika itu benar, aku pasti tak enak hati mengatakannya padamu, Ai." Gea melihatku dengan perasaan cemas.


"Tak apa. Katakan saja, apapun itu."


ooOoo


Sudah dua minggu sejak hari di mana aku mengatakan semuanya pada satu-satunya temanku, Gea. Sejak hari itu pula Gea tak kunjung memberi kabar. Saat bertemupun ia hanya menyapaku dengan senyum jeleknya. Dan seperti biasa, walau aku ingin mengobrol dengannya, kuusahakan untuk bersikap cuek.


Semenjak hari itu pula, gambar anak yang kusukai diam-diam ini telah memenuhi album foto di galeri handphoneku. Jangan tanyakan darimana aku mendapatkan semua foto-fotonya. Hahaha.. Aku berhasil menyelidiki semua hal tentang anak bernama Raka itu. Ah tidak, bukan semua. Kecuali tentang pacar, yah sangat sulit menyelidiki hal yang satu itu.


Raka, semakin aku tahu banyak hal tentang hidupnya semakin besar tanda tanyaku tentang siapa dia sebenarnya. Semua yang ia lakukan bertolak belakang dengan kesukaanku. Bertolak belakang dengan sosok luar yang biasa dia tampilkan pada umum. Di sisi luar ia terlihat kaku, membosankan dan apatis. Ternyata sisi aslinya, ia sangat humoris, suka ikut berpetualang bersama tim sukarela sekolah. Itu salah satu yang menakjubkanku. Sisi luar, dia pendiam, kutu buku dan suka menyendiri. Aslinya dia anak terpintar di kelasnya. Selalu menjadi tujuan contekan teman-temannya dan itu membuat byk orang ingin mendekatinya. Hah, banyak hal menakjubkan lain lagi tentangnya.


"Kak Ai!"


Hei! Suara itu... tidak asing. Walau membuyarkan lamunanku, tapi suara itu...


"Kau benar, Kak Ai, kan?" Kupalingkan pandanganku menuju sumber suara. Memastikan aku tak salah dengar.


DEG!
Mata coklat itu lagi. Dia melambai padaku. Dia mendekat. Semakin dekat. Kini ia duduk di hadapanku. Dan dia.. Tersenyum? Padaku? Benarkah ini?


Segera kutampar perasaan bergetar ini. Jangan buang waktu! Dia terlihat ingin bicara padamu, Ai!


"Kak Ai." Dia menyapaku lagi.. dengan senyuman. Ng, senyuman itu..


Oh.. tidak!
Handphoneku ada di antara kami. Bisa hancur reputasiku jika ia melihat foto yang menjadi 'wallpaperku'.


Itu fotonya..

Dengan senyuman yang sama..

Seperti sekarang ia tersenyum.. Hanya padaku.


"Ng, Kak, Apa kau mengenal.." Dia berhenti sejenak. Dia tertawa kecil, menggaruk kepalanya yang aku pikir pasti tidak gatal. Hmm? Apa dia salah tingkah?


Aku menyipitkan mata. Menunggunya melanjutkan.


"Kak Gea. Kau mengenalnya, kan? Dia bilang sangat akrab denganmu. Hmm.."


"...."


"Kak? Apa aku salah orang ya? Aish, memalukan. Haha.." Dia tertawa? Ng, wajahnya memerah. Dia malu? Karena apa?


Apakah dia tak tahu apa yang kurasakan? Dia menyebut nama wanita lain dengsn wajah seperti itu. Dan aku cukup pintar untuk menyimpulkan maksudnya. Tuhan, beginikah cara dia menolak perasaanku?


"Kau tidak salah orang. Kau siapa? Apa aku mengenalmu?" Jawabku ketus. Berusaha bersikap sebagaimana aku biasanya.


"Kau tak ingat? Aku pernah meminjam komik padamu. Kita juga pernah hampir bertubrukan di perpustakaan. Ah, mungkin kau lupa. Sudah lama." Dia menjelaskan panjang lebar. Ini pertama kali aku melihatnya berbicara sebanyak itu tepat di... hadapanku.


"Aku lupa." Ketusku. Rautnya berubah kecewa.


"Benarkah? Hm, tak apa. Ng, bisa kau berikan ini pada Kak Gea? Katakan, sesuatu yang spesial dari Raka. Hahaha.." Ia mendorong sebuah komik ke arahku. Kemudian berdiri.



"Terimakasih." Dia tersenyum lagi. Berbalik arah lalu pergi.

Aku masih terpaku. Benarkah ini? Mataku hanya mengarah pada satu titik. Komik yang ia titipkan padaku tapi bukan untukku. Aku tak ingat sudah berapa menit aku menatap komik itu sejak ia meninggalkanku bersama tanda tanya yang sedang meledak-ledak di kepalaku ini.


Aku meraih komik itu dengan perasaan yang sedikit bergetir.


"Detektif Conan vol. 18"


Komik yang sudah lama. Seingatku, Gea tak pernah meminjam komik detektif. Jika dia suka, kenapa tak pernah pinjam padaku? Aku bahkan punya komik yang seperti ini. Sial, apa lagi rencana Gea!


Sembari otakku asik mengutak-atik tanda tanya yang semakin memenuhinya kepalaku, mataku menangkap ujung kertas yang terselip di komik itu. Aku membuka halaman di mana kertas itu terselip. Aku tahu ini tidak sopan, membuka hal yang bukan untukku. Tapi, rasa penasaran ini memaksaku melakukannya.


Kertas itu membawa mataku menangkap judul file di mana kertas itu terselip.


"FILE 3: CINTA PERTAMA"


Aku jelas tahu cerita seperti apa dalam komik favoritku ini. Tubuhku tiba-tiba bergetar. Kantin itu jadi terasa amat panas dan sesak. Walau di sana hanya tersisa aku, ibu kantin yang sibuk mendengar lagu dari headset yang menggantung di kedua telinganya dan... komik itu. Nafas juga degupan jantungku saling memburu, mataku membulat penuh. Lalu segera sayup.


Sakit. Aku mulai merasakan ada benda tajam mengenai dadaku. Menusuk tempat terdalam dari apa yang disebut perasaan.


Mataku fokus kembali pada kertas itu. Tampak terlipat. Ada gambar senyum di sana.


Senyum dari seseorang yang telah menjadi baterai oksigen bagi jantungku.


Kalian tahu? Aku sedang menahan bendungan yang sedari tadi ingin pecah dari pelupuk mataku. Bendungan air mataku yang ingin jatuh ke bumi.


Kuraih kembali kertas itu. Berharap tidak mendapat sesuatu yang bahkan tak berani kubayangkan. Berharap prediksiku GAGAL!


^_____^_____^

"Kak Gea! Aku harap kali ini kau mau membaca komik favoritku yang kau bilang membosankan. Kertas ini kau temukan pada halaman yang sudah kutentukan. Jangan membaliknya. Tenaaang, aku telah memilih judul yang tepat: "CINTA PERTAMA". Judul ini juga akan menunjukkan sesuatu untukmu! Selamat membaca. Aku tunggu balasanmu, Kak. ^__^"
^_____^_____^


Aku melipat kembali kertas itu dengan cepat. Kusimpan di halaman yang sama tempat kertas itu terselip. Aku meraih handphoneku, melemparnya ke dalam tas lalu berdiri. Kusambar komik di hadapanku itu. Kemudian berlalu pergi meninggalkan butiran-butiran air yang tak dapat terbendung lagi dari sudut mataku.


Aku menangis.
Untuk pertama kalinya.
Untuk seorang laki-laki.

ooOoo


"Gea!" Kuraih pundak Gea dari belakang. Bermaksud menghentikan langkahnya.


"Ai? Ah, Ai! Ayo, ada yang ingin kusampaikan." Gea menarik lenganku tanpa mengijinkanku berbicara.


ooOoo


"Kenapa membawaku ke kantin?" Tanyaku ketus.


"Begini, Ai..." Raut wajah Gea berubah. Entah itu khawatir atau apa. Aku tak mengerti.


"Aku melakukan apa yang kau inginkan dua minggu ini. Tapi, aku baru dapat pastikan hari ini. Maaf ya.." Dia menunduk.


"Jadi, apa yang kau dapatkan?" Aku coba memancingnya. Apa yang ingin ia katakan? Huh?


"Raka.. Dia menyukai seseorang. Dan yang aku tahu, itu bukan kau. Aku tahu itu dari beberapa orang dekatnya yang kutanyai. Karena tiap aku menanyai Raka langsung, ia hanya tertawa." Jelas Gea, dengan wajah yang seolah tak berani melihatku. Aku hanya diam.


"Maaf, Ai. Aku benar-benar tidak enak hati mengatakannya. Huft. Aku harap kau tak kecewa." Dia memegang pundakku. "Aku akan membuatnya menyukaimu, Ai! Oke?" Lanjutnya sembari berkedip padaku. Dengan penuh semangat, senyumnya terangkat kembali.


"Terimakasih." Aku melepas tangannya dari pundakku. "Kau orangnya. Dia menyukaimu." Lanjutku, berusaha tersenyum walau senyuman ini jelas mengiris perasaanku. Tajam dan sakit. Jika perasaan itu bisa berdarah, aku pasti sudah dibawa ke ruang UGD karena kehabisan darah.


"EH? Apa maksudmu?" Mata hitam Gea membulat penuh.


"Ini untukmu. Dari Raka. Dia memberikan itu padaku tapi untukmu. Dia bahkan tersenyum, salah tingkah juga bersikap malu di hadapanku tapi itu semua karenamu. Bukan aku penyebabnya. Tapi, kau." Aku tak percaya, kata-kata menyakitkan ini keluar dari mulutku. Gea menggeleng tak percaya. Dan aku tersenyum tuk menyakinkannya.


Bodohnya, aku masih bisa tersenyum.


Kutepuk pundak Gea pelan lalu berdiri. Berusaha tak mengeluarkan butiran air itu lagi. Dia mungkin tak bersalah. Entahlah. Ini bukan sebuah kasus di mana harus ada orang yang bersalah, bukan? Ini takdir. Ini cara untuk menolakku. Meski aku menyesalkannya, yah, karena cara ini terlalu kejam, Tuhan.


Aku meninggalkan Gea, bersama komik itu. Aku tak berbalik lagi. Kuberi punggungku sepenuhnya untuk wanita yang tengah menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Suara isakannya terdengar bergetar. Mungkin sesenggukan. Ah, entah! Aku tak ingin berbalik. Takkan kubiarkan mataku menangkap sosok wanita yang pasti masih menutupi wajahnya itu. Wanita yang entah ingin kubenci atau tetap kuanggap teman.


ooOoo


Hei! Perkenalkan. Aku, Ai. Aku telah menjadi mahasiswi Fakultas Kedokteran di salah satu Universitas Swasta di kota ini sejak tiga tahun yang lalu.


Hmm, oh ya, sejak ‘hari itu’ aku semakin tak berminat mengenal lagi yang namanya teman, apalagi cinta. Haha.. Kurasa, takdirku memang begini dan akan tetap seperti ini. Menyedihkan dan sendirian.


Ng, oh ya, kabar terakhir kudengar, seseorang yang pernah kuanggap teman di masa laluku, Gea akan menikah. Dan pasangannya tentu saja sesuai dugaanku, dia adalah adik kelas yang sempat membuatku gila. Ya, dia Raka. Mereka akan menikah. Benarkan? Mereka memang berjodoh!

Hahahahaha... Selamat untuk mereka! :D

ooOoo

Eeeeendiiiiiiinnnnnnggggggggggg... Kasi kritikannya dong ya ;)


0 comments: