Friday, March 25, 2011

#07. Story: Tersenyumlah, Yuki

“hampir tiga tahun.. masih begini?”

“apa yang kau bicarakan? Kita akan melanjutkannya kan? Persahabatan kita.”

“yaaa... tentu saja. Hihihih…”


---oOo---


Kamar yang sangat berantakan. Memang benar-benar berantakan. Buku-buku berserakan. Buku pelajaran, novel dan komik bergulat di sana. Keadaan ini menggambarkan pemiliknya yang ehemm yah juga berantakan, Yuki. Rambutnya yang hitam pekat itu tergerai lusuh di sekujur punggungnya. Tampaknya ia sedang melakukan sesuatu. Ia sesekali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sesekali menggeram kesal, mengerutkan keningnya, menguap lalu melanjutkan kembali kegiatannya seolah sedang berpikir keras akan sesuatu.


“hooooaaammpp…” kini ia menguap untuk yang kesekian kalinya. Ia tampak bosan sepertinya putus asa. Yuki melepas kacamatanya dan mengucek kedua bola matanya yang berwarna coklat itu dengan punggung jemarinya. Kemudian tanpa basa-basi ia beranjak lompat dari meja belajarnya dan mendarat di tempat tidurnya yang kusam. Ia meraih telepon genggam yang sedari tadi diabaikan olehnya.


“ngg? Lima pesan masuk? Tumben..” ia membaca pesan itu satu persatu dengan malasnya. Matanya sudah berat untuk terbuka. Maklum saja, ini sudah pukul 01.00 pagi buta. “huuuaaah.. kalian memanfaatkanku terus.. hah, aku memang bodoh.” Gumamnya sembari tersenyum kecut. Dengan sekuat tenaga, ia melemparkan telepon genggamnya dan menarik gulingan yang tak jauh dengan menggunakan kakinya. Dan akhirnya ia pun tidur dengan tenang.


--oOo---


“toookkkk tookkk tokkk… Yuki banguuunnn… banguuunnn… sudah jam 6 !!!” teriakan yang seraya ingin memangsa telinga Yuki dari balik pintu itu memaksa Yuki bangun dari tidurnya yang singkat.

“iyaa Ma. Aku sudah bangun.. hoooaaaamm…” Yuki menjawab semampunya kemudian meraih handuk dan mandi dengan sangat malas.


--oOo---


“ohayouuu Yuki-san, sudah belajar kan? Ujian sekolah matematika hari ini, kami sepenuhnya berharap padamuuu…” seru Aoko dengan cerianya.

“yaa… hoaaammmmpp.. bagaimana dengan kalian? Masa berharap padaku saja. Kalian tak belajar? Hm?” jawab Yuki sembari melirik temannya satu-persatu.

“loohh, bagaimana kau ini Yuki, aku bodoh matematika. Diantara kita bertiga kan hanya kau yang bisa diandalkan. Bukan begitu Aoko-san? Haha..”

“hahaha… begitulah, Misa-san.. hihihii.. kau kan teman kami..” jawab Aoko lagi sembari tertawa kecil yang membuat Yuki merasa muak.

“aaah, kalian ini. Kalian terus saja mengulang kalimat itu tiap hari. Aku bosan. Bilang saja semua mata pelajaran kalian mengharapakan sontekan dariku. Huh!” geram Yuki kesal.

“hhihihihih…” kedua temannya hanya bisa tertawa melihat kekesalan Yuki.


---oOo---


Hari pengumuman tiba. Semua murid sudah siap di tempatnya masing-masing untuk menerima raport hasil belajar mereka semester ini. Tak heran, warga kelas sudah menduga-duga siapa lagi yang akan meraih peringkat pertama, Yuki. Pasti Yuki. Begitulah dugaan mereka. Tapi, kali ini tidak.


“Murid-murid, kali ini kita harus bangga pada teman kalian. Ia berhasil menduduki peringkat Yuki-san. Hah, Ibu sendiri tidak menyangka, Yuki bisa bergeser peringkatnya menjadi peringkat ketiga.”


“NANIIIII???? Dare desuka Sensei? Dare???” Tanya murid sekelas dengan kompaknya. Di ujung sana tampak Yuki yang terlihat tenang namun raut wajahnya mengerut kesal. sangat kesal.

“hai! Anak itu ialah Aoko-san ! Aoko, selamat. Peringkat pertama berhasil kau raih. Kemudian disusul oleh Misa di peringkat kedua. Senpai bangga pada kalian. Minnasan mari kita sambut Aoko..”

“EH?” serentak murid itu melirik kepada dua anak perempuan yang disebut Kobayashi Sensei tadi. Lalu melirik yuki-san dengan heran.


Mereka hanya mendapati Aoko yang tersenyum bangga dan salah tingkah, begitupun dengan Misa. Dua siswi ini senang bukan kepalang hingga melupakan seseorang yang sedang kesal di ujung sana. Yah, Yuki. Yuki hanya diam seribu bahasa melihat kenyataan yang tak pernah ia duga. Ia meraih tasnya dan berusaha keluar dari kelas itu tanpa ingin seorangpun melihatnya. Tanpa ia sadari, seseorang sari balik kerumunan terus memerhatikan Yuki. Ia turut sedih.


---oOo---


“Yuki –san sedang apa di sini? Kau tampak murung sejak…” sebelum melanjutkan perkataannya, yuki segera memotongnya.

“ah, Saguru-san… apa yang kau bicarakan. Tidak tidak. Aku hanya merasaa…”

“tergeserkan? Terkalahkan? Kecewa? Atau… hm?” tebak Saguru. Pria tinggi yang sedari tadi mengikuti langkah Yuki hingga sampai pada bukit yang tidak terlalu tinggi ini.

“hmm… bukan. Hanya saja, mereka.. maksudku Aoko dan Misa seperti memanfaatkanku. Apa aku benar-benar teman mereka?” keluh Yuki sesekali tersenyum kecil berusaha terlihat baik-baik saja.

“wah, mengapa berpikir seburuk itu? tentu saja mereka temanmu. Kalian sering terlihat bersama.” Jawab Saguru dengan tawa kecilnya tanpa menoleh ke arah Yuki yang duduk disampingnya sedikitpun. Saguru mengerti, sangat mengeri perasaan Yuki.

“tapiii, kamu mungkin tak mengerti. Kau lihat tidak tadi? Mereka bahkan melupakan keberadaanku. Mereka seolah tak mengenal aku yang telah mereka manfaatkan. Aku rela melakukan apapun untuk pertemanan ini. Aku rela memberi sontekan juga mengerjakan tugas-tugas yang tak bisa mereka kerjakan. Dan akhirnya terjadi seperti ini, mereka menusukku dari belakang. Menyakitkan bukan, Saguru?” Terlihat jelas, bibir Yuki bergetar menceritakan ini pada Saguru. “aku tak menyangka. Aku hanya ingin berteman. Sejak dulu, tak ada yang ingin berteman denganku, Yuki bodoh yang penyendiri. Dan sampai sekarang aku rasa masih tetap begitu.” Lanjut Yuki. “kenapa aku ditakdirkan seperti ini, Saguru-san? DOUSHITE??? Hah? Aku benci semua ini!!!” geram Yuki. Yuki memeluk erat kedua lututnya. Ia menangis dan beradu pada kedua lututnya. Merunduk dan menahan teriakan atas penekanan yang dia anggap sebuah takdir untuknya.

Kali ini Saguru melihat ke arah Yuki. Saguru memberanikan menatap mata Yuki walau Yuki sama sekali tak ingin melihat Saguru. Gumpalan butiran bening itu terlihat jelas dari sudut mata Yuki. Saguru tidak tahan lagi. Ia menarik pundak Yuki dan memeluknya. Memeluk seerat mungkin. Yuki terkejut. Ia semakin geram. Suara kekesalan Yuki pecah ketika itu jua dalam pelukan Saguru. Yuki memaksa melepaskan pelukan itu. ia menangis keras. Namun, Saguru enggan melepasnya. Bahkan pelukan itu terasa semakin erat bagi Yuki. Dan hangat. Yah, pelukan itu hangat. Saguru terus memeluk yuki tanpa berkata apapun, sepatah katapun tidak. Hingga akhirnya Yuki mereda.

Saguru yang merasakan emosi Yuki yang sedikit mereda, memberanikan diri untuk berbicara. “Yuki, kau bodoh ya.” Yuki tak membalas omongan Saguru. Yuki hanya menangis sebisanya, sepuasnya. Ini tangisan pertama bagi Yuki. Tangisan yang sedikit mampu melepas semua penatnya.

“kau bodoh. Benar-benar bodoh. Mengapa sebodoh itu?” bisik Saguru dengan lembut. Masih dalam pelukan. Saguru belum ingin melepaskan pelukan itu. ia merasa, ia harus melindungi Yuki.

“lepas, Saguru. Aku mohon.” Ucapan yuki membuat Saguru tak punya pilihan lain. Ia melepaskannya.

“maaf. Aku.. aku hanya tak bisa melihat temanku menangis. Apalagi perempuan bodoh sepertimu. Aku akan menjadi laki-laki yang sangat payah jika membiarkan seorang wanita menangis. Itu perintah ibuku.” Ucap Saguru merasa bersalah.

“teman? Huh? Haha… Apa aku temanmu? Aku tak punya teman. Pergilah. Aku ingin sendiri.” Jawab Yuki dengan tenang. Tanpa ia duga, Saguru benar-benar beranjak dari dudukannya. “benar ingin pergi? Hah, dia memang bukan temanku” gumam Yuki dalam hati. Yuki sedikit merasa menyesal mengusir Saguru, pria ang menenangkannya.

“baiklah, aku pergi. Asal jangan sampai kau melompat dari sini. Itu benar-benar konyol. Kurasa kau masih cukup pintar untuk memikirkan maksudku. Jaa nee..” Saguru pun meninggalkan Yuki. Yuki menoleh ke belakang. Berusaha menerawang dari kejauhan, menyipitkan matanya yang masih basah. Berusaha memerhatikan punggung Saguru yang semakin menghilang. Dan akhirnya benar-benar menghilang.


---oOo---


“Murid-murid, ada kabar buruk. Ternyata ayah Yuki akan dipindah tugaskan ke Kyoto. Jadi, Yuki pun harus pindah dari sekolah ini. Yuki, silahkan masuk! Beri salam perpisahan..” ucap Kobayashi Sensei yang memberikan raut wajah sedih yang tak biasanya. Maklum saja, Yuki adalah murid kesayangan guru berbadan tinggi nan cantik itu. Yuki melangkah masuk ke kelasnya dengan ragu. Dengan tas ransel yang di gendongnya. Tingkah laku Yuki bak orang asing di kelasnya sendiri. Yuki memang selalu merasa terasingkan.

“Minnasan, seperti yang Sensei katakan sebelumnya. Saya ke sini untuk berpamitan. Maaf ya selama ini telah merepotkan. Aku takkan melupakan kebaikan hati kalian. Sayounara..” Itulah sepatah kata yang keluar dari mulut Yuki. Lalu ia membungkukkan tubuhnya di hadapan teman sekelasnya kemudian pada gurunya. Sedikit rasa haru ia rasakan ketika melihat wajah orang-orang yang dua tahun ini menemani hari-harinya. Yuki meluruskan kembali punggungnya dan melangkah pergi.

“sayouuuunaraaaa…” ucap murid serentak yang melukiskan simpulan senyum tipis di bibir Yuki.

Tidak lama Yuki menghilang dari kelas itu, Misa dan Aoko minta izin keluar kelas. Mereka ingin menghampiri Yuki. Perasaan bersalah baru timbul dalam benak mereka. Amat bersalah. Tanpa diketahui oleh keduanya, Saguru mengikuti mereka dari belakang. Seolah penguntit yang sangat berhati-hati.


“Yuki-saan… tunggu!” teriak keduanya hampir bersamaan. Yuki menoleh dan tak menyangka apa yang dilihatnya. Yuki berusaha tersenyum dan bersikap seperti biasanya.

“Yuki-san, mengapa tiba-tiba begini? Kau tak mengabari kami. Kau ini bagaimana sih! Kami cemas tahu!” Aoko menggerutu kesal pada Yuki.

“ah… bukan begitu. Ini benar-benar mendadak. Tak ada pilihan lain. Gomenasai..”

“oh ya. Yuki-san, kami yang seharusnya meminta maaf. Heemmm…” ucap Misa sesekali melirik Aoko. Setelah mendapat isyarat yang berarti ‘ya’ dari Aoko, Misa melanjutkan. “Yuki-san, kami sudah bicara pada Kobayashi Sensei. Kami merasa tidak pantas mendapat prestasi itu. ah, kami terlalu beruntung untuk itu. benar kan Aoko-san?” jelas Misa memberi kedipan mata pada Aoko.

“Sou desu!” jawab Aoko sigap dan mengangguk kuat.

“kami, kami… ah tak ada yang pantas mendapatkan peringkat pertama itu selain kau atau Saguru-kun.” Aoko melanjutkan.

“dan lagi, kami selalu memanfaatkanmu. GOMEN GOMEN GOMEN..” ucap Aoko dan Misa serentak sembari membungkukkan kepala dan punggungnya berkali-kali. Mereka tak sedikitpun memberi kesempatan Yuki untuk berbicara sampai mereka selesai bicara..

“haha… apa sih! Tak apa! Tenang. Berhentilah membungkuk seperti itu, seolah aku ini orang tua yang harus kalian hormati.” Gerutu Yuki dengan tawa kecil yang sedikit dipaksakan. Dari balik dinding, Saguru-san tersenyum melihat tawa Yuki. Ia merasa tenang. Hutangnya sudah lunas..

“eh, iya.. aku harus pergi. Hmm,, Kalian temanku kan?” Yuki melanjutkan. Ia merasa pertanyaan ini adalah sebuah kepastian untuk persahabatan mereka yang masih ia ragukan ketulusannya.

“TENTU SAJA!” jawab Aoko dan Misa menjawab serempak dan langsung memeluk Yuki. Yuki merasa terharu. Benar-benar terharu. “aku bisa merasakan ketulusan ini..” gumam Yuki dalam hati. Yuki membalas pelukan sahabatnya dan tersenyum. lalu mereka tertawa bersama. Tawa yang benar-benar lepas bagi Yuki.

“sudah ya. Tetap jaga kontak denganku. Sampaikan salamku pada Kobayashi sensei dan Saguru-kun.” Sesaat sadar menyebut nama Saguru, Yuki berusaha menyangkal. Namun, kedua sahabatnya tertawa kecil. Mereka menggoda Yuki.

“hihiih… Saguru?” ejek Aoko. Yuki masih berusaha untuk mengelak meski jelas sudah terlihat pipinya yang mulai memerah.

“hei… Saguru-san, berapa lama lagi kau kan menguping kami. Bukankah kau ingin memberi salam perpisahan padanya? Keluarlah. Baka! Hahah…” ejek Misa.

“EH? Nani? Apa maksudmu?” elak Yuki. Kini Yuki benar-benar salah tingkah. Di balik sana, Saguru amat sangat kaget apa yang didengarnya barusan. Mulai dari Yuki yang menitip salam untuknya hingga ejekan Misa. Ia terpaksa keluar dari tempat ‘persembunyiannya’ lalu memberanikan diri menatap ketiga wanita yang tengah berdiri menunggunya. Jelas saja, sikap salah tingkah Saguru benar-benar terlihat. Seskali ia tersenyum, menyangkal dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“ah-ahaha-ahahahahaha…. Aku ketahuan ya. bodohnya aku.” Ucap Saguru dengan gugupnya. Ia tak berani menatap wajah Yuki sedikitpun ia terlalu malu dan payah. Haha… Yuki pun hanya tersenyum kecil melihat Saguru yang gelagapan. Namun tidak untuk Aoko.

“okee.. Yuki, kami pasti akan menghubungimu. Jaa nee…” ucap Misa dengan ceria dan berlalu pergi. Disusul oleh Aoko yang sedikit ragu melangkah dari sana. Ragu membiarkan Yuki hanya berdua dengan Saguru. Hanya berdua. Mata Aoko terlihat mengawasi dengan tajam keduanya dari kejauhan. Hingga akhirnya, Misa mengagetkannya.

“kenapa, Aoko san?”

“tidak… hanya sedikit sedih.” Jawab Aoko berusaha menyembunyikan rahasianya.


Rahasia bahwa ia menyukai Saguru. Sejak dulu. Namun, ia harus merelakan cintanya tak terbalas saat Saguru berbicara jujur padanya dan Misa. Yah, beberapa hari yang lalu Saguru datang dan berbicara tentang semuanya. Apa yang dirasakan Yuki, apa yang dialami Yuki dan perasaannya pada Yuki. Saguru ingin Yuki bahagia. Saguru ingin Yuki tersenyum. Saguru mengatakan bahwa ia mencintai Yuki meski Saguru tahu tak mungkin cintanya terbalaskan oleh Yuki. Aoko membuyarkan lamunannya tentang hari di mana Saguru berkata jujur tentang perasaan yang membuat Aoko untuk berhenti berharap.


“kali ini saja, Aoko. Biarkan Yuki bahagia.” Aoko memberi sugesti pada dirinya sendiri. Ia bertekad untuk melupakan Saguru demi temannya. Yuki.


---oOo---


Hening. Beberapa menit setelah ditinggal berdua tak satupun dari mereka mulai membuka pembicaraan. Yah, Yuki da Saguru memang sangat payah dalam ‘hal’ ini. Mereka paling tidak tahu cara berbasa-basi yang tidak membosankan. Mereka terlalu sibuk dengan pelajaran. Mereka terlalu sibuk untuk bersaing meraih peringkat pertama. Yuki selalu menganggap Saguru adalah saingan terberatnya di kelas. Begitupun Saguru. Namun, perasaan untuk bersiang yang ada dalam diri mereka seolah mencair. Saguru ingin bersatu pada Yuki. Saguru telah jatuh hati pada saingannya.


“hmm, Saguru-san, saya harus pergi. Adakah yang ingin kau sampaikan?” Yuki membuka pembicaraan tanpa berani menatap langsung mata Saguru.

“hhmm, tu-tunggu..!”

"ya?” Yuki menyipitkan matanya penuh tanya.

“tetap tersenyum. temukan bahagiamu di manapun kau ada. Aku adalah temanmu, kami adalah temanmu. Kau mengerti kan? Kau jangan lagi menangis seperti orang bodoh. Kau ini kan saingan terberatku. Tidak pantas menangis. Terlalu lemah.. hehehe…” Saguru berusaha mengucapkan kata-kata ini dengan sempurna. Kata-kata penyemangat untuk menenangkan Yuki. ia memberikan senyumannya dan memberanikan diri menepuk pundak Yuki dengan lembut dan sayang.

“arigatou… arigatou Saguru-kun. Aku tidak jamin dapat mempertahankan senyum jelek ini. Maaf yah. Namun, aku akan selalu mengingatnya. Mengingat tangisan bodohku, mengingatmu, dan mengingat pelukanmu yang sedikit membuatku sesak. Hahaha….” Jawab Yuki dengan sedikit bercanda. “namun hangat. Yah, sangat hangat Saguru-kun. Arigatouuu…” Yuki melanjutkan. Kata-kata yang tak disangka dapat ia utarakan pada Saguru. Yuki lalu menunduk pelan dan tersenyum lebar pada sosok pria yang juga tersenyum padanya.

“sayounara Yuki-chan..” satu kata yang akhirnya terucap dari bibir Saguru. Satu kata yang sangat sulit bagi Saguru. Saguru ingin sekali memeluk Yuki, namun ia tak berani melakukannya. Ia telah berjanji, ia hanya akan memeluk Yuki untuk menenangkan Yuki di kala sedih. Bukan untuk menenangkan dirinya.

“Chan?? Baka! -___-“ gerutu Yuki. Tanpa basa-basi Yuki melesat menyambar tubuh Saguru. Yuki memeluk Saguru. Untuk yang kedua kalinya, Saguru dan Yuki merasa sangat hangat. Yuki tak bisa menyangkal, ia telah jatuh hati pada Saguru. “Arigatou Saguru-kun.“ Yuki berusaha berbisik sepelan mungkin dalam pelukan itu. “anata ga suki desu, Yuki-chan.” Kalimat yang tak tertahankan lagi dari bibir Saguru.


Yuki melepas pelukan itu. ia hanya membalas Saguru dengan sesimpul senyuman. Tampak jelas wajah Yuki yang merona merah merekah. Dan Saguru yang sedikit malu. Yuki berpamitan dan berlalu menaiki mobilnya. Melambaikan tangannya yang terasa berat meninggalkan semua kenangan yang ada. Teman-temannya, guru-gurunya, dan tentu saja saingannya , Saguru. Saguru mengeluarkan tangannya yang sejak tadi bersembunyi di balik kantung celananya. Berusaha melambaikan senyum ketegaran. Dan angin musim dingin berhembus pelan, Saguru merapatkan jaketnya dan melangkah masuk sembari memeasukkan kembali kedua tangannya ke dalam sakunya yang hangat. Berjalan perlahan melewati koridor-koridor sekolah dengan berbagai kenangan yang berkecamuk hebat dalam pikirannya. Kenangan sejak ia mulai mengenal Yuki. Saingan yang membuatnya tak bisa tidur karena memikirkan cara-cara hebat untuk menyaingi kecerdasan Yuki. Di dalam sana, Yuki menaikkan kaca mobilnya juga merapatkan sweaternya. Mengingat semua yang telah terjadi lalu memejamkan mata sejenak dan kembali tersenyum, seeperti pesan Saguru untuknya.


the end

---oOo---

hihihi... gomen yah... masih amatir... :D

1 comments:

indri anggana anindita said...

hei! aku i_ang minoyuki chan, anak NDI :D

folback blog aku ya... http://indriangganaanindita.blogspot.com