Saturday, January 22, 2011

#06. Story: Musim Dingin


“Aku tidak mungkin bisa menang, huhu..” keluhku. “Mereka terlalu hebat!” lanjutku.
“tidak, tidak. Jangan bilang begitu. Ini akan menjadi boomerang terhadapmu jika kau bersikap seperti ini di depan mereka. Cobalah untuk kuat meski kau lemah. Yang tahu kau lemah hanyalah dirimu. Jangan biarkan yang lain tahu.” Ucapnya sembari mengelus kepalaku.

==============================

Ya.. percakapan itu masih teringat jelas dipikiranku. Percakapan yang kulakukan setahun yang lalu itu masih segar dan tentu masih menjadi memory yang mustahil kulupakan. Dia masih hidup dalam diriku. Menemaniku. Kini musim dingin sudah tiba di penghujung tenggak waktunya.

“Rin!” teriakan itu menghentakkan lamunanku. Namun masih terdiam dan kaku. Sekilas kulirik sosok perempuan yang berlari menghampiriku sembari mengayunkan tangannya. Dia tampak senang.
“Hei! Ada apa? Di luar dingin sebaiknya kau ke kelas.” Ucapnya.

“hmm.. ya. Kau duluan saja.” Jawabku singkat.

“ee.. kau ini kenapa? Semenjak hari itu, kauu..” celotehnya.

“ah sudahlah. Jangan bahas lagi.” Potongku. Benar. Semenjak hari itu aku seperti gunung yang diam. Tidak ada yang bisa kusapa. Aku seperti perempuan yang kehilangan tempat berteduh. Sendirian dan kedinginan. Aku kembali melamun.

“hei! Apakah kau tidak kedinginan? Lihat, salju sudah mulai turun.” Ucapnya, salah satu temanku yang berasal dari Jepang yang masih bertahan untuk berteman denganku.

“ya. Tak apa. kau duluan saja, Yumi.” Jawabku singkat tanpa melihat wajahnya. Memang dingin. Tapi, jika bisa, aku ingin mati di sini. Membeku. Tatapan dinginku masih bertahan di salah satu tempat duduk yang tidak jauh dari tempatku berpijak. Tempat itu mulai dipenuhi salju. Kini, sosok temanku tampak menjauh dari penglihatanku. Syukurlah, ia mau mendengarkanku. Aku melanjutkan lamunanku. Lamunan yang masih sama. Lamunan tentang satu tahun yang lalu. Aku tak peduli seberapa lebat salju yang turun sore ini. Aku terlalu asyik dengan lamunanku.

“masuklah!” suara ini terdengar asing di telingaku. Akupun menoleh ke belakang. Seseorang yang tak pernah kulihat sebelumnya. Pria itu tengah memegang payung yang terbuka ditangan kirinya dan sebuah payung lagi di tangan kanannya. Sepertinya ia sedang berbicara padaku.

“masuklah.” Ucapnya sekali lagi sembari tersenyum padaku. Aku tidak meresponnya. Aku berbalik dan menatap tempat duduk itu lagi. Tiba-tiba saja dia muncul dihadapanku dengan senyumnya yang kurasa cukup dipaksakan.

“hei! Kau mendengarku kan? Ayo masuk, Min Rin. Di sini sangat dingin.” Ucapnya lagi sembari menawariku payung terbuka yang sedari tadi digenggamnya. Aku melihat matanya. Siapa dia? Apa urusannya? Mengapa dia tahu namaku ? Aku sedikit kesal.
“aku tidak kedinginan.” Jawabku.

“haha.. mustahil. bibirmu bahkan sudah mulai membiru. Lihat!” katanya sembari tertawa kecil. “kau sudah daritadi menatapi tempat duduk itu, cukup. Sekarang masuklah.” Lanjutnya.

Ya, benar. Aku sadar sudah hampir tiga jam aku di sini. Aku berdiri dan mulai berjalan menuju kelasku. Aku tidak mengambil payungnya.


“he..hei!! Tunggu!!“ dia meneriakiku yang semakin menjauh darinya. “huh.. pengganggu. Cerewet!” gumamku dalam hati. Aku meneruskan jalanku tanpa menoleh kepada laki-laki asing itu. apakah dia bodoh? Dia terus saja memanggilku. Setelah hampir membuka pintu, aku tak lagi mendengar suaranya.

“haha.. mungkin dia sudah lelah menggangguku. Baguslah. Fiiuuhh..” gumamku. Aku masuk ke kelasku untuk mengambil tasku. Aku berniat untuk bolos latihan karate sore ini. Aku beranjak pergi dari sekolah itu. Aku berjalan pulang dan sesekali bersiul untuk menenangkan perasaanku. Aku menyempatkan diri untuk singgah di salah satu mesin pembeli minuman otomatis yang selalu tersedia hampir di semua sudut Seoul.

“hei, Min Rin!” tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku. Minumanku hampir tumpah karenanya.

“huh! Kau lagi!!” jawabku kesal. Ternyata pria asing tadi masih saja membuntutiku. Dia benar-benar gila. “hhaha.. kau kenapa sih? Kau tak senang ya? Ayo senyum.” Ujarnya. Rasanya aku ingin sekali menghajar pria sok akrab itu.

“Hentikan! Kau siapa? Aku tidak mengenalmu. Menghilanglah dari pandanganku!!” jawabku kesal.

“waawahahha.. kau lagi sakit yah? Kau banyak berubah.” Ucapnya lagi yang semakin buatku kesal. karena tak tahan, aku pergi meninggalkannya. Dia merusak moodku. Aku terburu-buru pergi hingga hampir terpeleset karena salju. Dan aku bisa mendengar tawa kecilnya dari belakangku.

“well, cukup. Aku sedang tak mau diganggu. Menjauhlah.” Ucapku kesal.

“hmm.. baiklah. Kau benar-benar marah ya? Kau sampai tak ingat siapa aku. Haruskah kuperkenalkan diriku lagi? Ya, baiklah.. hufftt.. aku Ki Hoon. Aku kembali ke Seoul untukmu, bodoh. Tapi yaaahh, aku tahu sekarang jawabannya, kau sudah melupakanku.” Jawabnya panjang lebar sembari tersenyum kecil. “baiklah, aku pergi dulu sampai ketemu lagi!” lanjutnya lagi.

Aku tersentak! Apa? Ki Hoon? Benarkah? Teringat beberapa tahun yang lalu disaat aku masih duduk di bangku sekolah tingkatan pertama di Seoul. Ki Hoon, pria baik yang kukagumi hampir lima tahun lamanya. Satu-satunya pria yang mau kuajak berbagi tawa. Teman kecilku sekaligus orang yang kusukai pertama kali. Semenjak dia tahu perasaanku di kelas 9, dia semakin mendekatiku. Kupikir dia juga menyukaiku. Dan saat itu aku benar-benar mengharapkannya. Tapi, tiba-tiba saja ia berpamitan padaku seolah ingin membuang perasaanku. Ia ingin ke Tokyo. Meskipun sebelum pergi ia sempat berjanji untuk kembali, aku tetap menganggap itu hanya seuntaian kata yang ingin membodohiku. Dia mustahil kembali ke Seoul apalagi kalau alasannya karena aku. Aku tidak tahu harus berkata apa padanya, kini sosoknya semakin jauh, semakin rabun di mataku. Dan tak lama bayangannya hilang ditelan kabut salju. Aku melanjutkan perjalananku meskipun otakku dipenuhi rasa tidak percaya atas kehadirannya petang ini.

==============================

“Rin! Apakah kau sudah mengerjakan tugas Fisika?” celoteh Yumi yang lagi-lagi menghentakkan lamunanku di pagi itu.

“ah, kau tahu sendiri kan? Aku bodoh di bidang Fisika.” Jawabku.

“haha.. iya ya!” ucapnya sembari tertawa kecil. “oh ya, apa kau sudah bertemu dengan pria itu?” lanjutnya.

“siapa?”

“entahlah, dia bilang kau adalah temannya. Dia terus saja menanyaiku tentang kabarmu.” Jawabnya.

“sejak kapan dia mengganggumu?” tanyaku. “ah! Kau berlebihan. Dia tak menggangguku kok. Dia sangat manis malahan. Hmm, kurasa sudah sejak satu minggu yang lalu.” jawabnya.

Aku terdiam. “Ki Hoon, dia sudah mencariku sedari satu minggu yang lalu. Mengapa baru menyapaku kemarin? Huh!” Gumamku dalam hati.

==============================

Aku pulang ke rumah lebih cepat hari ini. Aku tidak tahan berada di sekolah yang dingin itu. Aku iri dengan mereka yang mudah saja tersenyum melewati hari-hari mereka. Ya, semenjak hari itu, aku benci tersenyum.

“aku pulang!” sapaku sembari menyimpan payung dan melepaskan bootku. “tak ada yang membalas sapaanku. Mereka ke mana? Masih sibuk dengan urusan bisnis? Konyol.” Gumamku.

“aahh.. Ki Hoon lihat siapa yang datang. Rin sudah pulang.” Ucap Kakakku yang sepertinya terlihat senang akan kedatanganku. Dia baru kali ini menyambutku sehangat itu. “hmm, tapi apa yang dikatakannya? Ki Hoon? EH?” aku langsung menoleh ke belakang. Aku melihat mereka. Dua pria yang sepertinya sudah daritadi menunggu kepulanganku. Aku terdongak.

“ka..kau??” heranku.

“Hei! Min Rin. Lama tak jumpa.” Sapa pria itu yang cukup mengagetkanku.

==============================

“jadi, apa kabarmu?” ucapnya sembari meneguk segelas teh hangat racikan kakakku. Dia memulai kalimat itu sebagai pembuka pembicaraan yang kurasa cukup mendebarkan hari ini.

“seperti yang kau lihat.” Jawabku singkat. “hmm, ada apa gerangan?” lanjutku.

“aku ingin tahu kabarmu. Kusempatkan berkunjung ke rumahmu.” Jawabnya. “ah, jangan pikir aku tidak tahu rumahmu ya. Aku bahkan sering menginap di sini. Apa kau lupa?” Lanjutnya sembari tersenyum lebar.

“ya, aku tidak pernah lupa.” Jawabku.

“hmm, kau tampak murung. Ada masalah?” tanyanya sok mencemaskanku.

“kurasa kau sudah tahu masalahku dari Yumi, bukan?” jawabku sedikit jutek.

“ohh.. haha.. dia sudah memberitahumu yah? Hmm.. tapi aku ingin mendengarnya langsung darimu. Sungguh. Ceritakan apa yang terjadi padamu selama aku membiarkanmu sendiri.” Ucapnya. Kali ini ia tampak serius. Kukumpulkan seluruh nafas yang masih kumiliki untuk mulai menceritakan hal yang mustahil kulupakan kepada Ki Hoon, teman kecilku.

“ya, sejak kau pergi aku mulai membencimu. Aku mengerahkan seluruh keberanianku untuk melawan hari yang masih cerah untukku. Hari yang menungguku. Sampai, aku mengenal dia. Pria baik yang mampu membuatku tersenyum setelah hancur karena kepergianmu. dia bukan orang penting bagiku, awalnya aku berpikir seperti itu. Namun, sekarang dia sudah menjadi hal yang paling penting bahkan lebih penting dari nyawaku. Aku tidak bohong.” Jelasku.

“hmm.. aku tidak menyangka bisa membuatmu menderita karena kepergianku. Tapi, bukankah aku sudah berjanji akan kembali? Dan kini aku kembali. Kenapa kau masih ragu? Apa kau takut? Aahh, sudahlah. Itu masa lalu. sekarang aku harus menerima resiko karena pernah menjadi pria yang sempat hampir merenggut nafasmu beberapa tahun yang lalu. lalu sekarang, apakah kau menyukainya?” ucapnya. Ucapannya kali ini sedikit menggugah perasaanku. Dulu, aku hanya seorang gadis yang butuh seseorang, gadis yang takut ditinggalkan olehnya, Ki Hoon.

“lupakan masa lalu, Ki Hoon. Hmm, pertanyaanmu bodoh. Aku tidak menyukainya, tapi aku mencintainya. Kurasa kau tahu perbedaannya.” Jawabku.

“maaf! Jadi, ke mana nyawamu itu? maksudku pria itu?” tanyanya.

“kurasa kau sudah tahu kan? Setahun yang lalu, dia juga pergi sama seperti yang kau lakukan di masa lalu. Tapi, dia tak pernah berjanji untuk kembali. Dia hanya bilang bahwa dia tetap ada di dalam pikiranku dan itu akan membuatnya terus hidup. Hidup dalam kenangan kami. Huh.. dia bodoh kan?” jelasku. Aku tak tahan lagi menceritakan ini pada Ki Hoon. Aku menyadari air yang ingin jatuh dari sudut kelopak mataku.

“Tempat duduk itu adalah satu-satunya tempat terhangat yang pria itu perlihatkan padaku di musim dingin dua tahun yang lalu.. Tempat di mana aku duduk dan menghabiskan waktuku bersama pria itu. aku tak peduli berapa lama aku duduk di sana. Asalkan bersama dia, aku akan tinggal di sana.” Ucapku sembari menyunggingkan senyum tipis yang amat kupaksakan. “tapi, tahun ini, tempat duduk itu sudah penuh salju. Dingin. Dan aku rasa salju itu dapat membekukan semua kenanganku di sana. Salju itu jahat ya.” Lanjutku miris. Aku terisak. Aku tak mampu membendung air di kelopak mataku yang terasa berat untuk kutahan. Aku menangis di hadapan Ki Hoon.

“kau harus bertahan. Jangan biarkan kenanganmu membeku di musim dingin ini. Kau tidak boleh bersikap dingin meskipun ini musim dingin. Kau mengerti kan maksudku? Jika kenanganmu membeku karena sikapmu, tak ada lagi tempat pria itu untuk tetap hidup kan? Bukankah dia bilang bahwa dia hanya hidup dalam kenangan kalian? Apa kau ingin melupakannya? Bukankah dia lebih berharga dari nyawamu? Dia mencoba hidup dalam pikiranku, Min Rin. Biarkan dia melakukan itu. hangatkan jiwamu, pikiranmu dan hatimu. Tersenyumlah sebab dia sudah menjadi bagian hidupmu. Dia akan tersenyum jika kau tersenyum. Mengerti?” jawabnya sembari menyunggikan senyum sesekali menepuk pundakku pelan dan penuh hangat. “Aku akan membantumu. Semampuku. Izinkan aku melakukan itu.” lanjutnya. Aku terdongak.

“kau tak mungkin bisa melakukan apa yang dilakukan pria itu. kalian berbeda.” Jawabku.

“benar, biarkan aku menjadi aku. Aku datang untuk membuatmu tersenyum dengan caraku. Aku datang tidak untuk pergi lagi, Min Rin. Aku harus bertanggung jawab karena membuatmu murung di masa lalu. Aku berterima kasih pada pria itu. Sebab, dia mampu mengembalikan senyummu dengan caranya yang tak pernah kutahu sebelumnya. Dan akan kulakukan meski kau berusaha lari.” Ucapnya lagi.

Kali ini aku tersentak lagi dengan kalimat-kalimatnya. Dia tidak berubah, dia masih mampu membuatku tenang, sama seperti beberapa tahun yang lalu. “tapi, jangan pernah mencoba untuk menghilangkan dia dari pikiranku. Itu mustahil.” Ucapku.

Aku teringat dengan pria itu, pria penting yang bernama Min Ho. Dia tidak pernah bolos mengunjungiku. Dia mampu memberi warna dalam hariku, mengukir senyum dalam parasku. Dia mampu memberi semangat dalam jiwaku. Dia selalu mampu melakukan semua itu dengan caranya. Cara yang benar-benar membuatku tertegun. Aku sangat berterimakasih pada Tuhan saat ia bilang akan terus ada disampingku. Akan terus menyemangatiku. Membuatku hangat di kala musim salju. Membuatku sejuk di kala musim panas. Menjadikanku nafasnya. Segalanya. Min Ho, pria yang mampu membuang sifat pesimis yang sejak dini melekat dalam garis hidupku. Dia selalu memberiku kata-kata yang membuatku berpikir darimana ia mengutip semua itu. Ternyata semua itu dikutip dari perasaannya yang benar-benar tulus untukku. Kata-kata yang menjadi penyemangatku, menjadi soul-ku. Dia, pria baik yang selalu menasihatiku dan menyemangatiku tanpa bertanya apa masalahku. Dia selalu tahu tanpa bertanya. Dia mampu membaca perasaan-perasaan gundah yang acap kali kurasakan. Dia motivator terbesarku. Dia milikku.

“Min Rin, aku tak mau kau melupakannya. Dia orang baik untukmu. Aku bahkan ingin dia terus hidup dalam pikiranmu. Sebab aku tahu dia sumber nafasmu, sumber kekuatanmu.” Ucapnya. “aku akan mencoba semampuku, maka izinkanlah aku untuk melakukan ini.” Lanjutnya.

“Ya, aku mengizinkanmu.” Gumamku dalam hati sembari menatap matanya meski terisak.

Aku mencoba mencari ketulusan itu dari sorot matanya. Dan lagi-lagi ia tersenyum padaku. Aku menangis mendengar kalimat-kalimatnya. Aku takut dia akan membohongiku. Aku takut dia takkan melakukan itu. tapi, aku berterimakasih, dia benar-benar kembali.

Ki Hoon memelukku. Sore yang dingin itu menjadi hangat seketika. Dia mengelus rambutku pelan. Aku bisa merasakan kehangatan nafas yang dihembuskannya di ujung kepalaku. “Gansahamnidaa..” gumamku sembari terisak. Matahari,aku berbicara padamu, kini saatnya kau muncul, bantu aku mencairkan kenanganku yang hampir membeku di tempat duduk itu. Kenanganku bersama pria itu, Choi Min Ho. Dan buat aku secerah dirimu mentari bersama pria yang kali ini benar-benar tulus padaku, Hong Ki Hoon. :)

===============================

“Min Ho, aku takkan membiarkanmu mati dalam kenangan kita. Aku akan terus menghangatkanmu di musim dingin ini dan akan mencoba menyejukkanmu di musim panas yang akan datang. Seperti yang kau lakukan padaku. Saranghaeyoo.. ” ^^

~The end~
note: maaf yah kalau jelek. masih amatir sih, hehehe... ^^'

8 comments:

Yokuseino Kotori said...

Serius amatir nih ? Pengolahan kata2nya... mantabx gan... >.<

Unknown said...

Iya.. Hehe.. ^^''
msih byk kekurangannya.
Mohon kritikannya. :D

tiyul said...

pnulis pemula jg y..
cerpennya lumayan. tp msh sdikit kaku.

keep writing.. :)

Unknown said...

hmm, bgtu ya? Hehe, mohon kritikannya lagi dong di karangan2ku yg sebelumnya. :)
apakah km jg suka menulis? May i read? :D

miss telat said...
This comment has been removed by the author.
tiyul said...

hmm..
iya. penulis amatir juga. hehe.. dan karangan sy jg msh kaku.
bs d lihat di http://ristia.co.cc atau di catatan FB jg ada. kbtulan kita brteman d fb. :)

Sora said...

Sugoi ne~~!!
Hebat!! kaka memang hebat. bikin ceritanya bagus. sherry suka. \(^o^)/
pilihan kata katanya, susunannya, penggambarannya. bagus... ^^ ehmm, apa ya. mungkin kalau ada yang perlu di perbaiki sama sepertiku, masih ada yang kaku. tapi bagus! tapi, itu juga bisa jadi ciri khas dari kaka ko. ^-^

Unknown said...

Wahh.. Senangnya ada yang suka tulisan saya. >,<
hhihihi.. Arigatou ne! :)

iya nih masih kaku, ^^'a makasih ya kritikannya. :D